Pajak merupakan salah satu dari delapan langkah tindak lanjut
pemberantasan korupsi yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Langkahnya adalah meneliti para pembayar pajak 2004.
Untuk itu, Presiden telah meminta daftar 500 orang paling atas
dalam membayar pajak yang nominalnya di atas Rp5 miliar. Langkah ini
merupakan hasil rapat terbatas dengan Wakil Presiden, Jaksa Agung,
Kapolri, Kepala BPKP, Ketua BPK, Ketua KPK, Ketua PPATK, dan Ketua
Ombudsman.
Dengan kedelapan langkah yang telah ditetapkan secara
nominatif dengan para penegak hukum tersebut, menunjukkan keseriusan
pemerintahan SBY untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan baik dalam
kerangka clean governance dan good governance.
Jika korupsi dalam
berbagai aspek kegiatan berkurang atau bahkan tereliminir, yang
memperoleh kemanfaatan besar adalah masyarakat banyak. Karena uang atau
dana yang ada akan masuk ke pasar. Dalam satu tahun akan bergulir dan
berproses beberapa kali (return of production atau return of investment)
dalam mesin perekonomian yang akhirnya menambah input dan output
ekonomi.
Bila ini terjadi, secara langsung dan dalam waktu yang
tidak terlalu lama akan menambah kesempatan berusaha, lapangan kerja dan
peningkatan pendapatan masyarakat banyak yang tercermin pada produk
domestik bruto (PDB).
Dalam kaitannya dengan pajak, tanpa
disadari masyarakat khususnya wajib pajak ternyata dapat juga melakukan
korupsi atas pajak tersebut. Ini tentu tidak terlepas dari arti, saat
terutang, dan manfaat dari pajak itu sendiri secara luas (makro).
Penetapan Pajak
Penetapan
pajak di Indonesia selalu didasarkan atas UU, sesuai amanat UUD 1945
dan amendemennya, dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan
pajak dapat dihitung dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat, atau pihak
lain, atau juga oleh pemerintah.
Reformasi perpajakan (tax
reform) 1983, telah membuat perubahan mendasar ke arah pembaruan dalam
sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama
dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan
tuntutan social oriented, di mana masyarakatlah yang paling menentukan
kehidupan dan kegiatannya, sedangkan pemerintah lebih berfungsi sebagai
pengawas, pembina dan penyedia fasilitas.
Saat itu, melalui
kesepakatan dan kemauan politik bersama antara pemerintah dengan
masyarakat (melalui wakilnya di DPR) yang dituangkan dalam UU
Perpajakan, terjadi perubahan mendasar dalam sistem penghitungan dan
penetapan pajak, yakni dari official assessment system menjadi self
assessment system.
Bila semula dengan official assessment system,
besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar masyarakat dihitung
oleh kantor pajak. Dengan sistem ini, banyak yang beranggapan dan
memberikan kesan bahwa penetapan pajak dilakukan sepihak. Sehingga pajak
dianggap sebagai momok, karena setiap saat dianggap bisa muncul
ketetapan pajak yang mungkin tidak diduga sebelumnya.
Dengan self
assessment system, masyarakatlah yang paling menentukan dalam
melaksanakan kewajiban perpajakan, mulai dari mendaftarkan diri sebagai
Wajib Pajak, menghitung besarnya pajak yang terutang, membayar pajaknya
sendiri ke bank atau kantor pos, dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan
Pajak (KPP). Di antaranya, PPh Pasal 25 yang dihitung dan dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak tiap bulan, dan PPh Pasal 29 tiap tahun.
Demikian juga dengan PPN dan PPnBM.
KPP hanya melakukan fungsi
pengawasan dan pembinaan, apakah masyarakat telah melaksanakan kewajiban
perpajakannya sesuai UU Perpajakan. Kegiatan yang dilakukan di
antaranya dengan pemeriksaan pajak, yang tujuannya untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Bila ada yang belum atau tidak
sesuai, akan dihitung kembali besarnya pajak yang terutang, dan
diterbitkan ketetapan pajak.
Selain itu, juga dikembangkan
withholding system. Dengan sistem ini, pihak ketiga yang melakukan
transaksi ekonomi wajib menghitung pajak dan melakukan pemotongan atau
pemungutan, baik itu atas PPh maupun PPN dan PPnBM.
Secara
administrasi pajak oleh KPP, saat terutang pajak yang ditetapkan dalam
UU Perpajakan merupakan awal bahwa negara akan dan telah membukukan
penerimaan pajak dari masyarakat. Misalnya, PT ABC mempunyai kewajiban
PPh Pasal 25 Rp2 miliar pada masa Maret 2005, maka pada tanggal 15 April
2005 sudah dibukukan dan merupakan tagihan negara. Atau si Polan
diterbitkan ketetapan pajak pada 29 Maret 2005, maka sejak saat itu
terutang pajak walau diberikan waktu satu bulan untuk melunasinya.
Bagaimana
bila telah jatuh tempo namun belum juga dilakukan pembayaran ?Secara
administrasi perpajakan langsung dikenakan sanksi berupa bunga dua
persen per bulan.
Namun ada sisi lain yang sering tidak dirasakan
oleh masyarakat sendiri. Sesuai pengertian pajak dan penggunaannya,
bahwa setiap pajak terutang (baik self assessment system maupun karena
ketetapan pajak) telah merupakan penerimaan negara, yang digunakan untuk
keperluan masyarakat banyak. Berarti saat itu juga telah terjadi
korupsi atas uang pajak oleh masyarakat, karena negara telah dirugikan.
Misalnya,
WP mempunyai utang pajak Rp50 miliar dan belum dibayar. Ternyata Wajib
Pajak memasukkan uang tersebut dalam mesin perekonomian (baik dalam
pasar barang, pasar uang, pasar modal, dan lainnya), dengan margin
profit 10% setiap putaran dan setahun 4 kali putaran, maka akan
diperoleh hasil dari uang pajak sebesar Rp 23,2 miliar. Berarti negara
dirugikan Rp 73,2 miliar. Kita bisa bayangkan dengan uang sebesar itu,
berapa banyak masyarakat yang memperoleh manfaat dari tersedianya public
goods and services.
Belum lagi masih banyak masyarakat yang
belum mendaftar sebagai Wajib Pajak (bandingkan sekitar 2 juta Wajib
Pajak orang pribadi dengan 40 juta kepala keluarga, belum lagi Wajib
Pajak badan). Atau sudah mendaftar, namun tidak menyampaikan SPT,
seperti adanya 60 persen pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak
menyampaikan SPT (Bisnis, 5 April).
Atau sudah menyampaikan SPT,
namun tidak menghitung pajaknya dengan benar, seperti masih ada
penghasilan yang belum dimasukkan dalam unsur penghitungan. Ini semuanya
tentu merupakan korupsi uang pajak yang dilakukan oleh masyarakat.
Untuk
itu, berkali-kali Dirjen Pajak Hadi Poernomo meminta dibukanya akses ke
berbagai unit pengumpul data atas transaksi ekonomi (seperti sektor
keuangan). Demikian juga untuk meluruskan berbagai aturan yang
bertentangan dengan UU Perpajakan.
Penagihan Pajak
Apakah
masyarakat yang mempunyai utang pajak (termasuk atas korupsi utang
pajak) akan dibiarkan begitu saja? Tentu tidak, terutama karena negara
telah dirugikan.
Berdasarkan pengertian pajak dan sesuai dengan
UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, KPP akan melakukan tindakan
penagihan pajak bagi masyarakat yang mempunyai utang pajak.
Tindakan
yang dilakukan dimulai dari Surat Teguran. Kemudian dilakukan tahapan
tindakan selanjutnya. Secara berturut-turut dengan Surat Paksa,
penyitaan atas harta yang dimiliki, hingga dilakukan lelang. Selain itu,
dapat juga dilakukan tindakan pencegahan bepergian ke luar negeri
maupun penyanderaan (gijzeling)
Jika ada indikasi yang
bersangkutan akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, atau
berniat untuk itu, demikian juga bila memindahkantangankan barang yang
dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan
kegiatan usaha atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia, maka KPP akan
melakukan tindakan penagihan seketika dan sekaligus.
Sedangkan
atas yang belum mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, atau belum
menyampaikan SPT, atau menghitung pajaknya tidak benar, akan dilakukan
imbauan dan penetapan secara jabatan (official assessment system). Ini
tentu akan lebih realistis bila ada dukungan pihak lain dalam hal akses
data seperti dikemukakan di atas.
Untuk itu, langkah yang telah
dicanangkan Presiden Yudhoyono sekaligus juga sebagai gong guna
melakukan penagihan aktif atas masyarakat yang masih mempunyai utang
pajak. Demikian juga dengan langkah dibukanya akses data di berbagai
unit pengumpul data. Dengan kata lain, semua harus peduli pajak untuk
keperluan masyarakat banyak.
Oleh Liberty Pandiangan
Staf Direktorat Jenderal Pajak
http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=331