.

Kamis, 08 Maret 2012

Perbaikan Sistem Pembayaran untuk Pencegahan Korupsi

Oleh Anandita Budi Suryana
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

Setelah kasus rekening jumbo yang dimiliki Gayus Tambunan terungkap pada tahun 2010, Pusat Pengawasan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengindikasikan maraknya kepemilikan rekening bank oleh pegawai negara dalam nominal fantastis. Jumlah nominal tersebut sangat jauh menyimpang dibandingkan dengan profil keuangan sebagai pegawai negara. Banyaknya kasus rekening jumbo milik pegawai negara memicu kemarahan masyarakat terhadap Pemerintah. Pemerintah dianggap tidak optimal dalam mengawasi administrasi penerimaan negara dan pengeluaran negara.

Perlu diakui bahwa selama ini Pemerintah masih reaktif sporadis dalam menangani kasus korupsi. Setiap ada kasus korupsi, pemberantasan korupsi diwujudkan dalam bentuk pengusutan dan penghukuman. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengingatkan bahwa upaya pencegahan korupsi memegang peranan yang penting dalam perang melawan kejahatan korupsi. Pemerintah harus mengutamakan pencegahan korupsi karena jika terjadi tindak pidana korupsi, Pemerintah akan mengalami kesulitan mengembalikan aset yang dikorupsi (www.antaranews.com, 9 Desember 2011).

Tindakan pemberantasan korupsi oleh negara seharusnya seimbang antara upaya preventif untuk mencegah korupsi dan penindakan hukum pelaku korupsi. Namun demikian, harapan tinggi masyarakat Indonesia kepada Pemerintah untuk memberantas semua tindakan korupsi, belum terwujud. Aparat hukum negara belum mampu mencegah tindakan korupsi secara efektif.

Pemerintah bukannya tinggal diam menyikapi fenomena ini. Presiden pada Rapat Kerja Nasional Pemerintah Tahun 2012, secara khusus meminta aparat pemeriksa keuangan negara seperti BPK, KPK dan BPKP untuk mengurangi kasus korupsi. (Kompas, 20 Januari 2012).

Upaya penindakan korupsi di Indonesia ditandai dengan revisi UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil revisi UU No.8/2010 menegaskan adanya kewajiban bagi penyedia barang dan jasa seperti perusahaan properti, dealer kendaraan, pedagang perhiasan dan balai lelang untuk melaporkan transaksi senilai Rp.500 juta atau lebih. Hanya saja penegakan hukum UU No.8/2010 sulit dilakukan karena PPATK hanya bisa memberi sanksi dan denda administratif kepada penyedia barang dan jasa. Batasan nominal transaksi senilai minimal Rp.500 juta bisa menjadi loop hole tindak korupsi, karena pembelian rumah, perhiasan dan mobil senilai kurang dari Rp.500 juta tidak wajib dilaporkan oleh penyedia barang dan jasa ke PPATK.

Dalam Inpres No.17/2011, Pemerintah merencanakan 105 aksi pemberantasan korupsi mulai dari transparansi pelayanan publik, pembentukan whistle blower system, sampai pendidikan anti korupsi di seluruh kementerian/lembaga negara. Dari berbagai rencana strategis tersebut seharusnya korupsi bisa hilang. Namun demikian, korupsi masih ada terus.

Pemberantasan korupsi akan selaku gagal jika sistem peringatan dini untuk pencegahan korupsi tidak dibentuk. Masalah korupsi tidak semata pada sistem birokrasi, namun dikarenakan ketiadaan pengawasan sistem pembayaran transaksi yang ketat. Selama ini pelaku korupsi bisa leluasa membelanjakan uang hasil korupsi untuk membeli berbagai aset dan surat berharga karena tidak diawasi secara sistematis oleh Pemerintah.

Lalu bagaimana tindakan pencegahan korupsi seharusnya? Pemerintah perlu membuat penegasan batasan pembayaran tunai dan non tunai (non cash payment). Sistem non-cash payment dilakukan tanpa melibatkan uang dalam jumlah banyak secara tunai dan dilakukan melalui lembaga perbankan. Di Amerika Serikat, membayar tunai dalam jumlah besar merupakan hal yang tabu karena pelaku pembayaran jumbo ini dapat dianggap sebagai bagian mafia. Di Indonesia,  budaya malu apabila membayar transaksi besar dalam bentuk tunai belum ada, bahkan dianggap hebat jika membayar tunai utuk transaksi.

Idealnya aturan batasan pembayaran tunai harus dibahas dengan pihak legislatif untuk menghasilkan peraturan seperti halnya UU No.3/2011 tentang Transfer Dana. Masalahnya, PPATK juga mengindikasikan adanya 2.000 transaksi mencurigakan yang melibatkan anggota legislatif. (Tempo, 21 Februari 2012). Kalau hal ini benar adanya, pembahasan UU non cash payment akan memerlukan pembahasan panjang dengan pihak legislatif.

Lalu bagaimana? Pada penjelasan angka 5 UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara mendelegasikan kewenangan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran kepada Bank Sentral. Hal ini ditegaskan pasal 19 UU No.23/1999 juncto UU No.6/2009 tentang Bank Indonesia (BI), bahwa BI berwenang menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan, dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai penerima kekuasaan pengelolaan keuangan negara, BI telah mencegah praktik Anti Pencucian Uang (APU) dengan menerbitkan PBI No.12/3/PBI/2010 untuk Pedagang Valuta Asing dan PBI No.12/20/PBI/2010 untuk Bank Perkreditan Rakyat.

Namun demikian untuk lembaga di luar bank, posisi BI hanya sebatas mendorong masyarakat untuk mengutamakan alat pembayaran non-tunai atau Less Cash Society (LCS). Seharusnya BI dapat mengatur pembatasan pembayaran tunai dan non tunai dengan Peraturan Bank Indonesia. Apakah ini menabrak ketentuan UU No.8/2010? Tentu tidak karena pada UU No.8/2010 sudah diatur bahwa transaksi senilai Rp.100 juta di bank harus ada dilaporkan. BI bisa saja membuat batasan bahwa pembayaran tunai dibatasi maksimal Rp.10 juta per hari. Sisa pembayaran lainnya menggunakan instrument perbankan.

Apakah pembatasan tunai akan menyulitkan perekonomian? Secara umum  transaksi pembayaran ada lima tingkat yaitu transaksi antara government to government, goverment to business, business to business, business to person atau person to person. BI tidak perlu mengatur kelima jenis transaksi di atas. BI hanya perlu mengatur transaksi business to business, business to person atau person to person dengan menggunakan mekanisme non cash payment.

Fungsi pengaturan non-cash payment tidak hanya berguna untuk pencegahan korupsi. Lebih dari itu, pencatatan transaksi pada sistem perbankan akan memudahkan Negara untuk memungut pajak dari pelaku transaksi. Selama ini, Negara sulit untuk melacak pelaku transaksi bernilai milyaran rupiah terkait pembelian property, perhiasan mewah, surat berharga dan kendaraan. Dengan pencatatan non cash payment secara tertib, Negara akan mudah melacak keabsahan transaksi. Penjual harus melaporkan nama pembeli barang dan jasa mewah. Kalaupun kemudian Pemerintah mendapat laporan transaksi barang dan jasa mewah, namun transaksi tersebut tidak terindikasi PMH (Perbuatan Melanggar Hukum), maka pemungutan pajak atas transaksi tersebut bisa dioptimalkan.

Pelaku korupsi melakukan tindak pidana korupsi karena terpacu untuk  memiliki aset properti, perhiasan dan mobil mewah. Agar hal tersebut tidak terjadi, kemudahan membelanjakan uang hasil korupsi secara tunai untuk membeli aset-aset mewah harus dicegah. Pengaturan non cash payment secara ketat akan memperkecil lubang-lubang tindak pidana korupsi. Yang terpenting, kultur masyarakat untuk membayar non tunai perlu ditumbuhkan demi pencegahan korupsi dan juga kepentingan penerimaan pajak.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

http://www.pajak.go.id/content/perbaikan-sistem-pembayaran-untuk-pencegahan-korupsi

0 komentar:

Posting Komentar

 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts