Oleh Anandita Budi Suryana,
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Setelah kasus rekening jumbo yang dimiliki Gayus Tambunan terungkap
pada tahun 2010, Pusat Pengawasan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) mengindikasikan maraknya kepemilikan rekening bank oleh pegawai
negara dalam nominal fantastis. Jumlah nominal tersebut sangat jauh
menyimpang dibandingkan dengan profil keuangan sebagai pegawai negara.
Banyaknya kasus rekening jumbo milik pegawai negara memicu kemarahan
masyarakat terhadap Pemerintah. Pemerintah dianggap tidak optimal dalam
mengawasi administrasi penerimaan negara dan pengeluaran negara.
Perlu
diakui bahwa selama ini Pemerintah masih reaktif sporadis dalam
menangani kasus korupsi. Setiap ada kasus korupsi, pemberantasan korupsi
diwujudkan dalam bentuk pengusutan dan penghukuman. Padahal Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono telah mengingatkan bahwa upaya pencegahan
korupsi memegang peranan yang penting dalam perang melawan kejahatan
korupsi. Pemerintah harus mengutamakan pencegahan korupsi karena jika
terjadi tindak pidana korupsi, Pemerintah akan mengalami kesulitan
mengembalikan aset yang dikorupsi (www.antaranews.com, 9 Desember 2011).
Tindakan
pemberantasan korupsi oleh negara seharusnya seimbang antara upaya
preventif untuk mencegah korupsi dan penindakan hukum pelaku korupsi.
Namun demikian, harapan tinggi masyarakat Indonesia kepada Pemerintah
untuk memberantas semua tindakan korupsi, belum terwujud. Aparat hukum
negara belum mampu mencegah tindakan korupsi secara efektif.
Pemerintah
bukannya tinggal diam menyikapi fenomena ini. Presiden pada Rapat Kerja
Nasional Pemerintah Tahun 2012, secara khusus meminta aparat pemeriksa
keuangan negara seperti BPK, KPK dan BPKP untuk mengurangi kasus
korupsi. (Kompas, 20 Januari 2012).
Upaya penindakan
korupsi di Indonesia ditandai dengan revisi UU No.8/2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil revisi
UU No.8/2010 menegaskan adanya kewajiban bagi penyedia barang dan jasa
seperti perusahaan properti, dealer kendaraan, pedagang perhiasan dan
balai lelang untuk melaporkan transaksi senilai Rp.500 juta atau lebih.
Hanya saja penegakan hukum UU No.8/2010 sulit dilakukan karena PPATK
hanya bisa memberi sanksi dan denda administratif kepada penyedia barang
dan jasa. Batasan nominal transaksi senilai minimal Rp.500 juta bisa
menjadi loop hole tindak korupsi, karena pembelian rumah,
perhiasan dan mobil senilai kurang dari Rp.500 juta tidak wajib
dilaporkan oleh penyedia barang dan jasa ke PPATK.
Dalam Inpres
No.17/2011, Pemerintah merencanakan 105 aksi pemberantasan korupsi mulai
dari transparansi pelayanan publik, pembentukan whistle blower system,
sampai pendidikan anti korupsi di seluruh kementerian/lembaga negara.
Dari berbagai rencana strategis tersebut seharusnya korupsi bisa hilang.
Namun demikian, korupsi masih ada terus.
Pemberantasan korupsi
akan selaku gagal jika sistem peringatan dini untuk pencegahan korupsi
tidak dibentuk. Masalah korupsi tidak semata pada sistem birokrasi,
namun dikarenakan ketiadaan pengawasan sistem pembayaran transaksi yang
ketat. Selama ini pelaku korupsi bisa leluasa membelanjakan uang hasil
korupsi untuk membeli berbagai aset dan surat berharga karena tidak
diawasi secara sistematis oleh Pemerintah.
Lalu bagaimana tindakan
pencegahan korupsi seharusnya? Pemerintah perlu membuat penegasan
batasan pembayaran tunai dan non tunai (non cash payment). Sistem non-cash payment
dilakukan tanpa melibatkan uang dalam jumlah banyak secara tunai dan
dilakukan melalui lembaga perbankan. Di Amerika Serikat, membayar tunai
dalam jumlah besar merupakan hal yang tabu karena pelaku pembayaran
jumbo ini dapat dianggap sebagai bagian mafia. Di Indonesia, budaya
malu apabila membayar transaksi besar dalam bentuk tunai belum ada,
bahkan dianggap hebat jika membayar tunai utuk transaksi.
Idealnya
aturan batasan pembayaran tunai harus dibahas dengan pihak legislatif
untuk menghasilkan peraturan seperti halnya UU No.3/2011 tentang
Transfer Dana. Masalahnya, PPATK juga mengindikasikan adanya 2.000
transaksi mencurigakan yang melibatkan anggota legislatif. (Tempo, 21 Februari 2012). Kalau hal ini benar adanya, pembahasan UU non cash payment akan memerlukan pembahasan panjang dengan pihak legislatif.
Lalu
bagaimana? Pada penjelasan angka 5 UU No.17/2003 tentang Keuangan
Negara dijelaskan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara mendelegasikan kewenangan mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran kepada Bank Sentral. Hal ini ditegaskan
pasal 19 UU No.23/1999 juncto UU No.6/2009 tentang Bank Indonesia (BI),
bahwa BI berwenang menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan
dikeluarkan, bahan yang digunakan, dan tanggal mulai berlakunya sebagai
alat pembayaran yang sah. Sebagai penerima kekuasaan pengelolaan
keuangan negara, BI telah mencegah praktik Anti Pencucian Uang (APU)
dengan menerbitkan PBI No.12/3/PBI/2010 untuk Pedagang Valuta Asing dan
PBI No.12/20/PBI/2010 untuk Bank Perkreditan Rakyat.
Namun
demikian untuk lembaga di luar bank, posisi BI hanya sebatas mendorong
masyarakat untuk mengutamakan alat pembayaran non-tunai atau Less Cash Society
(LCS). Seharusnya BI dapat mengatur pembatasan pembayaran tunai dan non
tunai dengan Peraturan Bank Indonesia. Apakah ini menabrak ketentuan UU
No.8/2010? Tentu tidak karena pada UU No.8/2010 sudah diatur bahwa
transaksi senilai Rp.100 juta di bank harus ada dilaporkan. BI bisa saja
membuat batasan bahwa pembayaran tunai dibatasi maksimal Rp.10 juta per
hari. Sisa pembayaran lainnya menggunakan instrument perbankan.
Apakah
pembatasan tunai akan menyulitkan perekonomian? Secara umum transaksi
pembayaran ada lima tingkat yaitu transaksi antara government to government, goverment to business, business to business, business to person atau person to person. BI tidak perlu mengatur kelima jenis transaksi di atas. BI hanya perlu mengatur transaksi business to business, business to person atau person to person dengan menggunakan mekanisme non cash payment.
Fungsi pengaturan non-cash payment
tidak hanya berguna untuk pencegahan korupsi. Lebih dari itu,
pencatatan transaksi pada sistem perbankan akan memudahkan Negara untuk
memungut pajak dari pelaku transaksi. Selama ini, Negara sulit untuk
melacak pelaku transaksi bernilai milyaran rupiah terkait pembelian
property, perhiasan mewah, surat berharga dan kendaraan. Dengan
pencatatan non cash payment secara tertib, Negara akan mudah
melacak keabsahan transaksi. Penjual harus melaporkan nama pembeli
barang dan jasa mewah. Kalaupun kemudian Pemerintah mendapat laporan
transaksi barang dan jasa mewah, namun transaksi tersebut tidak
terindikasi PMH (Perbuatan Melanggar Hukum), maka pemungutan pajak atas
transaksi tersebut bisa dioptimalkan.
Pelaku korupsi melakukan
tindak pidana korupsi karena terpacu untuk memiliki aset properti,
perhiasan dan mobil mewah. Agar hal tersebut tidak terjadi, kemudahan
membelanjakan uang hasil korupsi secara tunai untuk membeli aset-aset
mewah harus dicegah. Pengaturan non cash payment secara ketat
akan memperkecil lubang-lubang tindak pidana korupsi. Yang terpenting,
kultur masyarakat untuk membayar non tunai perlu ditumbuhkan demi
pencegahan korupsi dan juga kepentingan penerimaan pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
http://www.pajak.go.id/content/perbaikan-sistem-pembayaran-untuk-pencegahan-korupsi
0 komentar:
Posting Komentar