.

Kamis, 08 Maret 2012

KPK Periksa Balon Gubernur DKI soal Kasus Wisma Atlet

JAKARTA,  - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, Kamis (8/3), untuk diperiksa keterlibatannya terkait kasus dugaan korupsi pengadaan proyek wisma atlet SEA Games di Palembang.

Alex Noerdin datang di gedung KPK sekitar pukul 08.30 WIB. Politisi Partai Golkar yang dikabarkan sebagai bakal calon (balon) kuat Gubernur DKI Jakarta ini datang bersama dua orang ajudannya. Juru bicara KPK, Johan Budi SP membenarkan, KPK sedang meminta keterangan Alex Noerdin terkait kasus wisma atlet. "Benar, ada permintaan keterangan kepada Alex Nurdin untuk penyelidikan kasus Wisma Atlet," ungkapnya saat dikonfirmasi.

Sebelumnya, nama Alex Noerdin sempat diungkap dalam surat dakwaan mantan terdakwa kasus Wisma Atlet, Wafid Muharam, Mohamad El Idris dan Mindo Rosalina Manulang. Yakni, ada alokasi dana dari PT Duta Graha Indah (DGI) untuk Gubernur Sumsel itu sebesar 2,5 persen dari total proyek Rp191,6 millliar.

Sementara KPK diberitakan sedang penyidikan kasus suap proyek Wisma Atlet yang menjerat Nazaruddin. Pengembangan difokuskan KPK pada proses pengadaan proyek wisma atlet yang dibiayai dengan dana block grant senilai Rp 191,6 miliar. KPK mencium adanya praktik penggelembungan harga dalam proyek yang dikerjakan oleh PT DGI tersebut. Alex Noerdin disebut dijanjikan uang komisi/fee proyek sebesar 2,5 persen oleh PT DGI.

Dengan diperiksanya Alex Noerdin oleh KPK terkait kasus korupsi Wisma Atlet, pencalonan dia oleh Partai Golkar sebagai calon Gubernur DKI nampaknya akan terganjal. Apalagi, nama Alex disebut-sebut ikut menikmati aliran dana pembangunan Wisma Atlet. Padahal, ia dikabarkan sebagai calon kuar Gubernur DKI dari Golkar mengalahkan Tantowi Yahya. (asf)

http://www.pesatnews.com/read/2012/03/08/1913/kpk-periksa-balon-gubernur-dki-soal-kasus-wisma-atlet
Teruskan membaca...

Inilah Penghasilan Pegawai Pajak Golongan III

Reformasi Birokrasi, digulirkan tahun 2007 dengan maksud memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat. Selain itu reformasi birokrasi juga menciptakan aparat yang bersih dan profesional. Salah satu langkah reformasi birokrasi
dengan mengeluarkan remunerasi kepada pegawai kementrian dan lembaga negara.

Tahap awal sebagai percontohan remunerasi tahun 2007 dipilih pegawai Kementrian Keuangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, waktu itu berpandapat dipilihnya Kementrian Keuangan sebagai percontohan program remunerasi dengan alasan hampir 75 persen pengumpul penerimaan negara dikelola kementrian keuangan.

Setelah mendapat remunerasi tahun 2007, gaji pegawai di Direktorat Bea dan Cukai dan Pajak terendah Rp 2,091 juta per bulan dan tertinggi Rp 49,33 juta per bulan. Bandingkan dengan pegawai di departemen lain, pegawai terendah mendapat gaji pokok Rp 760.495 sedangkan pegawai tertinggi Rp 2,38 juta per bulan. Remunerasi yang diberikan kepada
Kementrian Keuangan tahun 2010 saja mencapai Rp 5,4 triliun.

Lalu, bagaimana penghasilan Dhana Widyatmika? Begini rincian penghasilan pegawai golongan III/c ini:
Gaji Pokok : Rp 2.066.600 @bulan
Tunjangan Kehadiran : Rp 240.000 @bulan
Tunjangan Kegiatan Tambahan : Rp 5.400.000 @bulan
Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara : Rp 3.800.000 @bulan
Tunjangan Kegiatan Tambahan (TKT) Account Representative : Rp 5.600.000 @bulan

TUNJANGAN
Tunjangan istri : 10 % dari gaji pokok
Tunjangan anak : setiap anak (maksimal 2) mendapat 2% dari gaji pokok

LAINNYA :
UANG MAKAN : Rp 27.000 (dibayar perbulan menurut daftar kehadiran)
UANG LEMBUR : Rp 17.000
UANG MAKAN LEMBUR : Rp 27.000

PENGHASILAN SAMPINGAN
- Mengelola bisnis mini market
- Mengelola usaha diler kendaraan truk bekas

Sumber Diolah Peraturan Menteri Kepmenkeu No. 164/KMK.03/2007 dan Kepmenkeu No. 289/KMK.01/02007 dan Peraturan terkait lainnya.

http://www.tempo.co/
Teruskan membaca...

Perbaikan Sistem Pembayaran untuk Pencegahan Korupsi

Oleh Anandita Budi Suryana
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak 

Setelah kasus rekening jumbo yang dimiliki Gayus Tambunan terungkap pada tahun 2010, Pusat Pengawasan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengindikasikan maraknya kepemilikan rekening bank oleh pegawai negara dalam nominal fantastis. Jumlah nominal tersebut sangat jauh menyimpang dibandingkan dengan profil keuangan sebagai pegawai negara. Banyaknya kasus rekening jumbo milik pegawai negara memicu kemarahan masyarakat terhadap Pemerintah. Pemerintah dianggap tidak optimal dalam mengawasi administrasi penerimaan negara dan pengeluaran negara.

Perlu diakui bahwa selama ini Pemerintah masih reaktif sporadis dalam menangani kasus korupsi. Setiap ada kasus korupsi, pemberantasan korupsi diwujudkan dalam bentuk pengusutan dan penghukuman. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengingatkan bahwa upaya pencegahan korupsi memegang peranan yang penting dalam perang melawan kejahatan korupsi. Pemerintah harus mengutamakan pencegahan korupsi karena jika terjadi tindak pidana korupsi, Pemerintah akan mengalami kesulitan mengembalikan aset yang dikorupsi (www.antaranews.com, 9 Desember 2011).

Tindakan pemberantasan korupsi oleh negara seharusnya seimbang antara upaya preventif untuk mencegah korupsi dan penindakan hukum pelaku korupsi. Namun demikian, harapan tinggi masyarakat Indonesia kepada Pemerintah untuk memberantas semua tindakan korupsi, belum terwujud. Aparat hukum negara belum mampu mencegah tindakan korupsi secara efektif.

Pemerintah bukannya tinggal diam menyikapi fenomena ini. Presiden pada Rapat Kerja Nasional Pemerintah Tahun 2012, secara khusus meminta aparat pemeriksa keuangan negara seperti BPK, KPK dan BPKP untuk mengurangi kasus korupsi. (Kompas, 20 Januari 2012).

Upaya penindakan korupsi di Indonesia ditandai dengan revisi UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil revisi UU No.8/2010 menegaskan adanya kewajiban bagi penyedia barang dan jasa seperti perusahaan properti, dealer kendaraan, pedagang perhiasan dan balai lelang untuk melaporkan transaksi senilai Rp.500 juta atau lebih. Hanya saja penegakan hukum UU No.8/2010 sulit dilakukan karena PPATK hanya bisa memberi sanksi dan denda administratif kepada penyedia barang dan jasa. Batasan nominal transaksi senilai minimal Rp.500 juta bisa menjadi loop hole tindak korupsi, karena pembelian rumah, perhiasan dan mobil senilai kurang dari Rp.500 juta tidak wajib dilaporkan oleh penyedia barang dan jasa ke PPATK.

Dalam Inpres No.17/2011, Pemerintah merencanakan 105 aksi pemberantasan korupsi mulai dari transparansi pelayanan publik, pembentukan whistle blower system, sampai pendidikan anti korupsi di seluruh kementerian/lembaga negara. Dari berbagai rencana strategis tersebut seharusnya korupsi bisa hilang. Namun demikian, korupsi masih ada terus.

Pemberantasan korupsi akan selaku gagal jika sistem peringatan dini untuk pencegahan korupsi tidak dibentuk. Masalah korupsi tidak semata pada sistem birokrasi, namun dikarenakan ketiadaan pengawasan sistem pembayaran transaksi yang ketat. Selama ini pelaku korupsi bisa leluasa membelanjakan uang hasil korupsi untuk membeli berbagai aset dan surat berharga karena tidak diawasi secara sistematis oleh Pemerintah.

Lalu bagaimana tindakan pencegahan korupsi seharusnya? Pemerintah perlu membuat penegasan batasan pembayaran tunai dan non tunai (non cash payment). Sistem non-cash payment dilakukan tanpa melibatkan uang dalam jumlah banyak secara tunai dan dilakukan melalui lembaga perbankan. Di Amerika Serikat, membayar tunai dalam jumlah besar merupakan hal yang tabu karena pelaku pembayaran jumbo ini dapat dianggap sebagai bagian mafia. Di Indonesia,  budaya malu apabila membayar transaksi besar dalam bentuk tunai belum ada, bahkan dianggap hebat jika membayar tunai utuk transaksi.

Idealnya aturan batasan pembayaran tunai harus dibahas dengan pihak legislatif untuk menghasilkan peraturan seperti halnya UU No.3/2011 tentang Transfer Dana. Masalahnya, PPATK juga mengindikasikan adanya 2.000 transaksi mencurigakan yang melibatkan anggota legislatif. (Tempo, 21 Februari 2012). Kalau hal ini benar adanya, pembahasan UU non cash payment akan memerlukan pembahasan panjang dengan pihak legislatif.

Lalu bagaimana? Pada penjelasan angka 5 UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara mendelegasikan kewenangan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran kepada Bank Sentral. Hal ini ditegaskan pasal 19 UU No.23/1999 juncto UU No.6/2009 tentang Bank Indonesia (BI), bahwa BI berwenang menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan, dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai penerima kekuasaan pengelolaan keuangan negara, BI telah mencegah praktik Anti Pencucian Uang (APU) dengan menerbitkan PBI No.12/3/PBI/2010 untuk Pedagang Valuta Asing dan PBI No.12/20/PBI/2010 untuk Bank Perkreditan Rakyat.

Namun demikian untuk lembaga di luar bank, posisi BI hanya sebatas mendorong masyarakat untuk mengutamakan alat pembayaran non-tunai atau Less Cash Society (LCS). Seharusnya BI dapat mengatur pembatasan pembayaran tunai dan non tunai dengan Peraturan Bank Indonesia. Apakah ini menabrak ketentuan UU No.8/2010? Tentu tidak karena pada UU No.8/2010 sudah diatur bahwa transaksi senilai Rp.100 juta di bank harus ada dilaporkan. BI bisa saja membuat batasan bahwa pembayaran tunai dibatasi maksimal Rp.10 juta per hari. Sisa pembayaran lainnya menggunakan instrument perbankan.

Apakah pembatasan tunai akan menyulitkan perekonomian? Secara umum  transaksi pembayaran ada lima tingkat yaitu transaksi antara government to government, goverment to business, business to business, business to person atau person to person. BI tidak perlu mengatur kelima jenis transaksi di atas. BI hanya perlu mengatur transaksi business to business, business to person atau person to person dengan menggunakan mekanisme non cash payment.

Fungsi pengaturan non-cash payment tidak hanya berguna untuk pencegahan korupsi. Lebih dari itu, pencatatan transaksi pada sistem perbankan akan memudahkan Negara untuk memungut pajak dari pelaku transaksi. Selama ini, Negara sulit untuk melacak pelaku transaksi bernilai milyaran rupiah terkait pembelian property, perhiasan mewah, surat berharga dan kendaraan. Dengan pencatatan non cash payment secara tertib, Negara akan mudah melacak keabsahan transaksi. Penjual harus melaporkan nama pembeli barang dan jasa mewah. Kalaupun kemudian Pemerintah mendapat laporan transaksi barang dan jasa mewah, namun transaksi tersebut tidak terindikasi PMH (Perbuatan Melanggar Hukum), maka pemungutan pajak atas transaksi tersebut bisa dioptimalkan.

Pelaku korupsi melakukan tindak pidana korupsi karena terpacu untuk  memiliki aset properti, perhiasan dan mobil mewah. Agar hal tersebut tidak terjadi, kemudahan membelanjakan uang hasil korupsi secara tunai untuk membeli aset-aset mewah harus dicegah. Pengaturan non cash payment secara ketat akan memperkecil lubang-lubang tindak pidana korupsi. Yang terpenting, kultur masyarakat untuk membayar non tunai perlu ditumbuhkan demi pencegahan korupsi dan juga kepentingan penerimaan pajak.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

http://www.pajak.go.id/content/perbaikan-sistem-pembayaran-untuk-pencegahan-korupsi
Teruskan membaca...

Sabtu, 03 Maret 2012

Korupsi Pembayaran Pajak

Pajak merupakan salah satu dari delapan langkah tindak lanjut pemberantasan korupsi yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Langkahnya adalah meneliti para pembayar pajak 2004.
Untuk itu, Presiden telah meminta daftar 500 orang paling atas dalam membayar pajak yang nominalnya di atas Rp5 miliar. Langkah ini merupakan hasil rapat terbatas dengan Wakil Presiden, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BPKP, Ketua BPK, Ketua KPK, Ketua PPATK, dan Ketua Ombudsman.

Dengan kedelapan langkah yang telah ditetapkan secara nominatif dengan para penegak hukum tersebut, menunjukkan keseriusan pemerintahan SBY untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan baik dalam kerangka clean governance dan good governance.

Jika korupsi dalam berbagai aspek kegiatan berkurang atau bahkan tereliminir, yang memperoleh kemanfaatan besar adalah masyarakat banyak. Karena uang atau dana yang ada akan masuk ke pasar. Dalam satu tahun akan bergulir dan berproses beberapa kali (return of production atau return of investment) dalam mesin perekonomian yang akhirnya menambah input dan output ekonomi.

Bila ini terjadi, secara langsung dan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menambah kesempatan berusaha, lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat banyak yang tercermin pada produk domestik bruto (PDB).

Dalam kaitannya dengan pajak, tanpa disadari masyarakat khususnya wajib pajak ternyata dapat juga melakukan korupsi atas pajak tersebut. Ini tentu tidak terlepas dari arti, saat terutang, dan manfaat dari pajak itu sendiri secara luas (makro).

Penetapan Pajak

Penetapan pajak di Indonesia selalu didasarkan atas UU, sesuai amanat UUD 1945 dan amendemennya, dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan pajak dapat dihitung dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat, atau pihak lain, atau juga oleh pemerintah.

Reformasi perpajakan (tax reform) 1983, telah membuat perubahan mendasar ke arah pembaruan dalam sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan tuntutan social oriented, di mana masyarakatlah yang paling menentukan kehidupan dan kegiatannya, sedangkan pemerintah lebih berfungsi sebagai pengawas, pembina dan penyedia fasilitas.

Saat itu, melalui kesepakatan dan kemauan politik bersama antara pemerintah dengan masyarakat (melalui wakilnya di DPR) yang dituangkan dalam UU Perpajakan, terjadi perubahan mendasar dalam sistem penghitungan dan penetapan pajak, yakni dari official assessment system menjadi self assessment system.

Bila semula dengan official assessment system, besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar masyarakat dihitung oleh kantor pajak. Dengan sistem ini, banyak yang beranggapan dan memberikan kesan bahwa penetapan pajak dilakukan sepihak. Sehingga pajak dianggap sebagai momok, karena setiap saat dianggap bisa muncul ketetapan pajak yang mungkin tidak diduga sebelumnya.

Dengan self assessment system, masyarakatlah yang paling menentukan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, mulai dari mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, menghitung besarnya pajak yang terutang, membayar pajaknya sendiri ke bank atau kantor pos, dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Di antaranya, PPh Pasal 25 yang dihitung dan dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tiap bulan, dan PPh Pasal 29 tiap tahun. Demikian juga dengan PPN dan PPnBM.

KPP hanya melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan, apakah masyarakat telah melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai UU Perpajakan. Kegiatan yang dilakukan di antaranya dengan pemeriksaan pajak, yang tujuannya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Bila ada yang belum atau tidak sesuai, akan dihitung kembali besarnya pajak yang terutang, dan diterbitkan ketetapan pajak.

Selain itu, juga dikembangkan withholding system. Dengan sistem ini, pihak ketiga yang melakukan transaksi ekonomi wajib menghitung pajak dan melakukan pemotongan atau pemungutan, baik itu atas PPh maupun PPN dan PPnBM.

Secara administrasi pajak oleh KPP, saat terutang pajak yang ditetapkan dalam UU Perpajakan merupakan awal bahwa negara akan dan telah membukukan penerimaan pajak dari masyarakat. Misalnya, PT ABC mempunyai kewajiban PPh Pasal 25 Rp2 miliar pada masa Maret 2005, maka pada tanggal 15 April 2005 sudah dibukukan dan merupakan tagihan negara. Atau si Polan diterbitkan ketetapan pajak pada 29 Maret 2005, maka sejak saat itu terutang pajak walau diberikan waktu satu bulan untuk melunasinya.

Bagaimana bila telah jatuh tempo namun belum juga dilakukan pembayaran ?Secara administrasi perpajakan langsung dikenakan sanksi berupa bunga dua persen per bulan.

Namun ada sisi lain yang sering tidak dirasakan oleh masyarakat sendiri. Sesuai pengertian pajak dan penggunaannya, bahwa setiap pajak terutang (baik self assessment system maupun karena ketetapan pajak) telah merupakan penerimaan negara, yang digunakan untuk keperluan masyarakat banyak. Berarti saat itu juga telah terjadi korupsi atas uang pajak oleh masyarakat, karena negara telah dirugikan.

Misalnya, WP mempunyai utang pajak Rp50 miliar dan belum dibayar. Ternyata Wajib Pajak memasukkan uang tersebut dalam mesin perekonomian (baik dalam pasar barang, pasar uang, pasar modal, dan lainnya), dengan margin profit 10% setiap putaran dan setahun 4 kali putaran, maka akan diperoleh hasil dari uang pajak sebesar Rp 23,2 miliar. Berarti negara dirugikan Rp 73,2 miliar. Kita bisa bayangkan dengan uang sebesar itu, berapa banyak masyarakat yang memperoleh manfaat dari tersedianya public goods and services.

Belum lagi masih banyak masyarakat yang belum mendaftar sebagai Wajib Pajak (bandingkan sekitar 2 juta Wajib Pajak orang pribadi dengan 40 juta kepala keluarga, belum lagi Wajib Pajak badan). Atau sudah mendaftar, namun tidak menyampaikan SPT, seperti adanya 60 persen pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak menyampaikan SPT (Bisnis, 5 April).

Atau sudah menyampaikan SPT, namun tidak menghitung pajaknya dengan benar, seperti masih ada penghasilan yang belum dimasukkan dalam unsur penghitungan. Ini semuanya tentu merupakan korupsi uang pajak yang dilakukan oleh masyarakat.

Untuk itu, berkali-kali Dirjen Pajak Hadi Poernomo meminta dibukanya akses ke berbagai unit pengumpul data atas transaksi ekonomi (seperti sektor keuangan). Demikian juga untuk meluruskan berbagai aturan yang bertentangan dengan UU Perpajakan.

Penagihan Pajak

Apakah masyarakat yang mempunyai utang pajak (termasuk atas korupsi utang pajak) akan dibiarkan begitu saja? Tentu tidak, terutama karena negara telah dirugikan.

Berdasarkan pengertian pajak dan sesuai dengan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, KPP akan melakukan tindakan penagihan pajak bagi masyarakat yang mempunyai utang pajak.

Tindakan yang dilakukan dimulai dari Surat Teguran. Kemudian dilakukan tahapan tindakan selanjutnya. Secara berturut-turut dengan Surat Paksa, penyitaan atas harta yang dimiliki, hingga dilakukan lelang. Selain itu, dapat juga dilakukan tindakan pencegahan bepergian ke luar negeri maupun penyanderaan (gijzeling)

Jika ada indikasi yang bersangkutan akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, atau berniat untuk itu, demikian juga bila memindahkantangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usaha atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia, maka KPP akan melakukan tindakan penagihan seketika dan sekaligus.

Sedangkan atas yang belum mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, atau belum menyampaikan SPT, atau menghitung pajaknya tidak benar, akan dilakukan imbauan dan penetapan secara jabatan (official assessment system). Ini tentu akan lebih realistis bila ada dukungan pihak lain dalam hal akses data seperti dikemukakan di atas.

Untuk itu, langkah yang telah dicanangkan Presiden Yudhoyono sekaligus juga sebagai gong guna melakukan penagihan aktif atas masyarakat yang masih mempunyai utang pajak. Demikian juga dengan langkah dibukanya akses data di berbagai unit pengumpul data. Dengan kata lain, semua harus peduli pajak untuk keperluan masyarakat banyak.

Oleh Liberty Pandiangan
Staf Direktorat Jenderal Pajak
http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=331
Teruskan membaca...

Hari Gini Korupsi Pajak...


ADA yang terlupakan ketika publik asyik mengikuti bongkar membongkar kasus mafia pajak yang menyeret banyak pihak, yakni iklan (ajakan membayar) pajak: ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya”. Sepintas iklan itu menarik, mengundang partisipasi publik berupa dorongan untuk ikut mengawasi penggunaan pajak setelah melunasinya.

Selama ini, iklan tersebut dinilai cukup mendidik. Namun publik tercengang setelah kasus mafia pajak terungkap. Ternyata  kebocoran terbesar dalam dunia perpajakan bukan terletak pada penggunaannya melainkan pada penerimaan pajak.


Seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa wajib pajak yang seharusnya membayar 100 persen  dari kewajibannya, tetapi hanya membayar 60%. Yang 60 % itu dikongkalikongi lagi oleh oknum perpajakan. Akhirnya yang masuk ke negara hanya 20-30%.

Bila apa yang disampaikan SBY tersebut benar berarti teramat besar kebocoran di sektor penerimaan pajak. Kita bisa bayangkan APBN 68,3% dibiayai oleh penerimaan sektor pajak. Tahun 2009 penerimaan pajak dipatok Rp 621 triliun dan ntuk tahun 2010 mengalami kenaikan.

Logikanya jika 20-30%-nya saja sudah sedemikian besar lalu betapa besar jumlah pajak bila diterima 100%. Atau kalau boleh mengandaikan dibalik, yang 20-30% dikorupsi dan 70%-nya saja masuk kas negara, tentu kita tidak perlu utang luar negeri. Pemasukan pajak melebihi kebutuhan APBN.

Bangsa ini akan hidup kaya raya atau  setidak-tidaknya kehidupan rakyat mayoritas sudah berada di atas garis kemiskinan. Tidak ada TKI atau TKW ke luar negeri karena rezeki mereka ada di dalam negerinya sendiri.

Iklan ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya” adalah pola kampanye yang  sesat nalar. Iklan tersebut mengisyaratkan pesan bahwa institusi perpajakan adalah institusi yang bersih dari korupsi. Karena merasa bersih maka publik diarahkan agar ikut mengawasi penggunaan pajak yang diterima kantor pajak.

Iklan tersebut juga mengisyaratkan persoalan penerimaan atau pemasukan pajak jangan diawasi sebab pegawai pajak adalah ”malaikat” yang tidak butuh uang, berbeda dari institusi-institusi pemerintah lainnya yang menggunakan hasil pajak. Semua haus uang.

Selama ini publik terninabobokan bahwa sektor penerimaan pajak sudah bersih dari korupsi. Gaji pegawai Depkeu sudah dinaikkan cukup signifikan melalui remunerasi sehingga asumsinya tidak mungkin korupsi. Bahkan oleh  Menkeu Sri Mulyani, lembaga keuangan termasuk di dalamnya Ditjen Pajak, dibangga-banggakan menerapkan sistem yang kedap korupsi.

Namun apa yang terjadi? Ternyata tingginya remunerasi  tidaklah menjamin institusi tersebut kedap korupsi. Teori-teori yang selalu mengemuka bahwa korupsi selalu identik dengan rendahnya gaji ternyata tidak selalu benar diterapkan di Indonesia.
Teori Kesejahteraan Teori itu tidak mempan untuk memberantas korupsi sebab budaya bangsa Indonesia itu unik,  semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi selera. Tidak seperti teori kesejahteraan yang selama ini dikumandangkan bahwa semakin tinggi gaji pegawai semakin tenang dan profesional  kerjanya. Di samping iklan ”Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya”, masih ada iklan yang tersebar terkait bagaimana memotivasi wajib pajak agar segera melunasi kewajibannya.

Salah satunya ”Hari Gini Belum Bayar Pajak, Apa Kata Dunia?” Iklan ini mengandung pesan bahwa di dunia yang sudah demikian transparan, jika masih ada yang mengemplang pajak, maka perbuatannya itu sangat tercela dan mengurangi kredibilitas.

Hanya saja, iklan-iklan yang dikelurkan lembaga perpajakan itu diperuntukan bagi  wajib pajak. Lalu bagaimana dengan integritas insan-insan perpajakan, apakah mereka berani membikin iklan ”Hari Gini Masih Korupsi Pajak, Apa Kata Dunia?”  atau ”Tangkap dan Laporkan apabila Ada Petugas Pajak Korupsi/ Memanipulasi”.      
        
Lalu iklan-iklan untuk dorongan dan jaminan bahwa penerima pajak benar-benar bekerja maksimal dan dapat dipercaya juga tidak ada. Tidak ada satu pasal pun dalam UU Perpajakan yang jelas-jelas menjelaskan sanksi bagi pegawai yang mengorupsi penerimaan pajak. Tidak salah bila ada yang bertanya,” Hari Gini Korupsi Penerimaan Pajak, Apa Kata Dunia?” atau lebih ekstrem lagi,” Untuk Apa Bayar Pajak kalau Akhirnya Dikorupsi”. Melihat fakta seperi ini mestinya Ditjen Pajak mau instropeksi, iklan-iklan yang dipasang jangan sampai menyesatkan masyarakat.

Selama ini masyarakat dibodohi dengan berbagai macam slogan yang tidak mencerdaskan. Masyarakat selalu ditakut-takuti dengan pasal-pasal pidana kalau tidak membayar pajak. Namun apa konsekuensinya ketika sedemikian besar penerimaan uang pajak dikorupsi pegawai instansi itu? (10)

— Jabir Alfaruqi, Koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah
Opini Suara Merdeka 19 April 2010
Thank You!

Teruskan membaca...

Surat Tersangka DW Belum Diterima Atasan

Pada 24 Februari 2012 Kejaksaan Agung telah menetapkan DW, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, sebagai tersangka kasus korupsi. Tapi, hingga pagi ini, atasan DW belum juga menerima pemberitahuan resmi.

"Sampai saat ini kami belum menerima surat resmi sebagai tersangka dari Kejaksaan Agung," kata Pelaksana Harian Dinas Pajak DKI, Djuli Zulkarnaen, kepada VIVAnews, Senin 27 Februari 2012.

DW saat ini berkantor di Unit Pelayanan Pajak Setiabudi, Jakarta Selatan. Dia baru satu bulan pindah dari Direktorat Jenderal Pajak ke Dinas Pajak DKI. DW diperbantukan mengelola Pajak Bumi dan Bangunan di Jakarta.

Maka itu, DW belum bisa dinonaktifkan sebagai pegawai Dinas Pajak DKI. Tapi, Dinas Pajak DKI berjanji bila surat pemberitahuan resmi status tersangka dari Kejaksaan Agung itu sudah diterima, maka proses selanjutnya akan dilaksanakan.

"Kalau sudah dapat surat dari Kejaksaan bahwa DW ditetapkan sebagai tersangka, tindaklanjutnya kami proses penonaktifan yang bersangkutan sampai proses hukumnya selesai," tambah Kepala Dinas Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi, kepada VIVAnews, kemarin.

DW, pria kelahiran Malang, Jawa Timur 3 Maret 1974 itu dijerat dengan kasus dugaan korupsi dengan kepemilikan rekening yang tidak sesuai profil. Keterlibatan istri DW, DA yang juga pegawai Direktorat Jenderal Pajak masih ditelusuri.

DW diketahui memiliki bisnis minimarket dan jual beli mobil atau showroom. Pantauan VIVAnews kemarin, showroom dengan nama 88 Mobilindo tersebut terletak di Jalan Raya Dermaga Nomor 8, Duren Sawit, Jakarta Timur dan melayani jual-beli truk bekas.

Seberapa mencurigakan rekening pegawai pajak ini? Informasi yang dikumpulkan VIVAnews, DW dan DA memiliki pundi-pundi miliaran rupiah.

"Ada Rp8 miliar, lalu ada pula Rp20 miliar," kata sumber VIVAnews. Uang itu belum termasuk pundi mata uang asing senilai US$270.000 atau setara sekitar Rp2,4 miliar lebih. Belum juga termasuk logam mulia emas seberat 1 kilogram. (ren)

Teruskan membaca...
 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts