AKARTA-Proyek renovasi gedung DPRD DKI
Jakarta menjadi sorotan banyak pihak. Ini setelah pembangunan perwajahan
gedung tersebut memakan dana yang fantastis, sekitar Rp 80 miliar
lebih.
Salah satunya adalah proyek retrofit
ruang paripurna yang memakai keramik khusus yang kabarnya diimpor dari
Turki. Bisa dikatakan, inilah banggar jilid II. Permainan mafia proyek
di DPRD DKI Jakarta sepertinya tidak mau kalah dengan DPR RI yang juga
diisukan banyak mafia proyeknya.
Diketahui, proyek retrofit adalah proyek
merubah wajah gedung DPRD yang lama supaya memiliki wajah yang sama
dengan wajah gedung DPRD baru yang saat ini sedang dalam proyel
pengerjaan.
Gedung baru tersebut dibangun di bekas
lahan gedung Dinas Pelayanan Pajak yang posisinya persis di samping
gedung DPRD lama. Karena tampilan calon gedung baru DPRD lebih dinamis
dan modern, wajah gedung lama yang rencananya akan dipakai sebagai ruang
paripurna terlihat berbeda.
Padahal, gedung lama dan gedung baru
DPRD akan dijadikan satu. Akhirnya muncullah ide proyek retrofit supaya
kedua gedung tersebut berpenampilan sama dan satu kesatuan. Yang menjadi
masalah adalah anggaran untuk proyek retrofit tersebut yang cukup
fantastis hingga mencapai Rp 80 miliar. Padahal, yang dilakukan hanyalah
mengganti beberapa asesoris gedung.
Ironisnya lagi, para anggota dewan di
Jalan Kebon Sirih tersebut saling lempar tanggungjawab soal siapa yang
bertanggungjawab atas proyek tersebut. Salah satu material yang disorot
dalam proyek tersebut akan penggunaan keramik yang kabarnya dibeli dari
Kota Istanbul, Turki. Informasi penggunaan keramik impor itu,
mengingatkan pada keberangkatan Ketua DPRD DKI Jakarta Ferial Sofyan
beberapa waktu lalu ke Turki pada 2011.
Saat itu juga sempat terdengar kabar
bahwa kunjungannya tersebut untuk mensurvei harga dan jenis keramik yang
akan digunakan untuk proyek retrofit gedung DPRD DKI. Sekaligus untuk
pemasangan keramik di gedung dewan yang kini dalam proses pembangunan.
Proyek tersebut bertujuan mengubah penampilan tampak depan gedung dewan
saat ini. Sehingga memiliki penampilan yang sama dengan gedung dewan
yang kini dalam proses pembangunan. Sayangnya, alokasi anggaran proyek
tersebut disinyalir sebagai anggaran ‘siluman’.
Pasalnya, Badan Anggaran (Banggar) DPRD
DKI telah sepakat mencoret anggaran tersebut. Namun anggaran itu justru
muncul kembali dalam penetapan anggaran. Ini menimbulkan kecurigaan
adanya permainan anggaran oleh kalangan tertentu. Kondisi demikian juga
terindikasi adanya perpecahan di tubuh Banggar DPRD DKI. Tak hanya itu,
para politisi di Kebon Sirih itu terkesan saling menyalahkan.
“Semula anggaran retrofit tidak
disetujui karena pemborosan. Rencananya mengganti marmer atau keramik
yang menurut saya kondisinya masih layak dipakai,” ujar Anggota Banggar
DPRD DKI Sanusi kepada INDOPOS, kemarin (20/1). Dirinya juga
menyayangkan kemunculan kembali alokasi anggaran tersebut dalam
penetapan anggaran. Ironisnya, anggaran itu dimasukkan dalam alokasi
sekretariat dewan. Sehingga tidak tepat sasaran. “Kalaupun harus ada, ya
sepantasnya dialokasikan pada dinas perumahan,” tutur Sanusi.
Ketidaktahuan anggota Banggar itu justru
menimbulkan pertanyaan bagi kalangan anggota DPRD DKI lainnya. Cibiran
pun terlontar dari Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Ridho Kamaludin
atas sikap ketidaktahuan itu. Menurut dia, sangat mustahil bila setiap
alokasi anggaran tidak diketahui oleh seluruh pimpinan dan anggota
Banggar. “Masa tidak tahu, kan dalam draft anggarannya ada paraf mereka.
Kalau tidak dibahas dibanggar mungkin benar. Tapi bukan berarti tidak
tahu,” imbuhnya.
Selain proyek retrofit, diketahui pada
APBD 2012 terdapat juga alokasi anggaran sebesar Rp 100 miliar untuk
membangun jembatan penghubung antara gedung dewan saat ini dengan gedung
yang baru. Hasil penelusuran ke sejumlah sumber, didapati alokasi
anggaran itu terdapat pada Dinas Perumahan DKI Jakarta dengan besaran Rp
20 miliar.
Namun belum bisa dipastikan spesifikasi
material yang akan digunakan untuk pembangunan jembatan tersebut. Selain
proyek marmerisasi, proyek lain yang disorot adalah rehab ruang sidang
paripurna yang menghabiskan anggaran Rp 16,5 miliar. Anggaran tersebut
juga ditolak komisi A (bidang pemerintahan) namun secara misterius
kembali dimunculkan bahkan membengkak menjadi Rp 17,9 miliar. Ketua
Komisi A DPRD DKI Ida Mahmudah mengakui, keberadaan alokasi anggaran
tersebut menuai pro kontra di di komisi yang dipimpinnnya.
“Ini menjadi pertanyaan besar buat saya
dan teman-teman lainnya. Bahkan saya sudah minta anggarannya dicoret
saat pembahasan anggaran perubahan,” ungkap dia kepada INDOPOS, kemarin
(19/1). Kalaupun terjadi suatu kejanggalan dalam pelaksanaan proyek
tersebut, kata Ida, sebaiknya diserahkan pada mekanisme berlaku. “Saat
ini BPK tengah mengaudit seluruh anggaran di DKI,” tutur politisi PDI
Perjuangan itu.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif
Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif (Majelis)
Sugiyanto mengatakan, penggunaan anggaran yang sangat besar hanya untuk
rehab ruangan sidang parpipurna merupakan sesuatu yang mengada-ngada.
“Ini terlalu mahal. Tak ada bedanya dengan yang tengah terjadi di DPR
RI,” kata dia. Karena itu, Sugiyanto menyarankan agar Badan Kehormatan
(BK) DPRD DKI turun tangan. Sebab dikawatirkan terdapat keterlibatan
oknum anggota dewan proyek tersebut.
“Sedangkan KPK (komisi
pemberantasan korupsi), seharusnya berinisiatif melaksanakan
pemeriksaan,” tandasnya. (rul)
sumber: http://www.indopos.co.id/index.php/berita-indo-rewiew/20535-soal-dana-renovasi-ruang-paripurna-rp-80-mbanggar-dprd-lepas-tangan.html
0 komentar:
Posting Komentar