.

Minggu, 10 April 2011

Hasil Penelitian UGM: UU Antikorupsi Untungkan Koruptor


Hasil penelitian sejumlahmahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, menyebutkan, Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menguntungkankoruptor karena justru membuat rakyat Indonesia menyubsidi para koruptor.

Hasil penelitian sejumlahmahasiswa yang mengambil konsentrasi ekonomika kriminalitas pada jurusan ilmuekonomi, Program Magister Sains dan Doktor, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM,juga menyebutkan bahwa UU Antikorupsi seolah berpesan bahwa koruptor akandiuntungkan jika mereka bisa melakukan korupsi sebanyak-banyaknya. 

Sebagaimana dilaporkan Antara,Minggu (11/4) RUU Antikorupsi atau Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(Tipikor) yang saat ini hendak diajukan pemerintah justru semakin meningkatkanintensitas subsidi kepada koruptor.

Dalam pasal 5, 6, 8 dan 12 UU 20/2001disebutkan bahwa denda untuk para koruptor paling tinggi adalah Rp 1 miliar danpaling rendah Rp 50 juta untuk jenis korupsi penyogokan, penggelapan dankorupsi oleh PNS atau penyelenggara negara.

Pencantuman hukuman dendamaksimal kepada koruptor adalah tidak rasional, karena efek jera denda akancepat menyusut sejalan dengan waktu.

Penelitian itu juga menyimpulkanbahwa hukuman dalam UU Antikorupsi ringan, tidak menimbulkan efek jera danjustru memberikan insentif kepada koruptor untuk melakukan korupsisebanyak-banyaknya maksimum denda Rp 1 miliar untuk korupsi senilai takterhingga, sementara hukuman mati hanya bisa dijatuhkan pada kondisi tertentusaja.

Penelitian itu juga berdasarkanpada data yang dihitung oleh ekonom UGM Rimawan Pradiptyo dari hasil putusanmengenai kasus korupsi di Mahkamah Agung dari tahun 2001-2009. Dari hitunganRimawan, nilai biaya eksplisit (nilai riil) korupsi pada masa itu mencapai Rp73,07 tri liun, namun total nilai hukuman finansial (berdasarkan putusanpengadilan) hanya Rp 5,32 triliun atau hanya sekitar 7,29 persen dan itu belummenghitung biaya oportunitas korupsi atau biaya dampak dari uang yang hilangkarena korupsi itu.

Kerugian negara yang munculdihitung dari dana yang dikorupsi dikurangi nilai hukuman finansial atau Rp73,07 triliun dikurangi Rp 5,32 triliun sama dengan Rp 67,75 triliun dan ituharus ditanggung oleh para pembayar pajak terutama warga yang mengkonsumsibarang dan jasa, karena struktur penerimaan pajak di Indonesia didominasipenerimaan pajak tidak langsung atau non-pajak penghasilan.

Dalam penelitian itu jugadisebutkan, RUU Pemberantasan Tipikor atau amandemen UU 20/2001 memilikikelebihan antara lain jenis tindakan yang termasuk dalam definisi korupsi makinluas, tidak saja di sektor publik namun juga di sektor swasta dan sektor publikinternasional seperti pejabat publik asing dan pejabat organisasi Internasionalpublik, definisi korupsi di RUU lebih mendekati definisi korupsi di konvensiPBB tentang Pemberantasan Korupsi (UNCAC) serta perampasan aset diatur secaralebih luas.

Namun, RUU itu juga memilikikekurangan yaitu intensitas denda dan juga hukuman diturunkan dari maksimum Rp1 miliar menjadi hanya Rp 500 juta, berapa pun nilai korupsi yang dilakukan,menghapuskan hukuman mati, dan menghapuskan hukuman pembayaran uang pengganti,sehingga menu tup celah untuk memiskinkan koruptor.

Penelitian juga menunjukkan bahwakaitan antara RUU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang tetap tidak jelas danpembuktian korupsi belum didasarkan pada hitungan biaya ekonomi, namun tetapdidasarkan pada biaya eksplisit korupsi (uang yang dikorupsi) dan belummemperhitungkan biaya oportunitas yang hilang akibat korupsi.

RUU itu juga dinilai mereduksidan memperlemah kedudukan KPK, karena tingkat pendeteksian (detection rate)semakin minimum. (Lerman Sipayung)

0 komentar:

Posting Komentar

 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts