.

Selasa, 26 April 2011

Disorientasi Penegakan Hukum

Prof Romli Atmasasmita *)

Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukumoleh Presiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan pengakuankeberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana selama65 tahun kemerdekaan Indonesia.

Mafia hukum di Indonesia identik dengan the web of the underworld governmentyang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan kewibawaanpemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan nasionalisme danketeguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam ujian di mata masyarakatdalam negeri dan luar negeri. Namun, pembentukan Satgas Pemberantasan MafiaHukum bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafiahukum.Yang tepat seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dansinkronisasi antara KPK,Polri,dan Kejaksaan.


Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang adatidak sepadan sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistemperadilan pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankandengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden tentangtarget pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Polridan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian dan indikator keberhasilantersebut sejatinya merupakan salah satu indikator penyediaan anggaranoperasional kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam praktik, parameter (tolokukur) keberhasilan tersebut dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuanpencapaian kuantitas daripada pencapaian kualitas penanganan perkarakorupsi.Tujuan pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaiankuantitas.


ARAH


Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalampemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yangtidak seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidakberhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telahdikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi lain,tujuanpenghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selaindiskresi perlakuan yang diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, jugadiskresi menurut KUHAP sejak penyidikan sampai penuntutan. Ini bereksesdiskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dankekuatan uang.


Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 danSKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalahperlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupununtuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana kebencian terhadapkoruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma internasionalyang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun2003 karena konvensi tersebut tidak menghubungkan pemberantasan korupsi denganagama.Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada haltersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.


Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagikoruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik AllahSWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakanhukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapatpara ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih baik melepaskan 100 orang yangbersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”Kebenaran materiildalam praktik koruptif penegakan hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaanbelaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan silaKetuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.


DISORIENTASI


Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalamidisorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 danperubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampakkehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal sepertiKomisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektifjuga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembagapenegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.


Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkankegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benarmenurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batassistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi“kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembagapengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orangdalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapamengawasi siapa.


Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontroltersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawaskinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakatsipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanyakepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli”oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadisaat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang“pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.


Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh WidjojoNitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang“pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasilotaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwayang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritikmasyarakat... dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatanprogresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelasyang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada.Pernyataan Widjojo cocok diera Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat inikhususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuatsistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi danefektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.


Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untukmemperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah eksesnegatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial olehoknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalanjujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti darikondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yangbersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraanbatiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaattelah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan olehHobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupusbellum omnium contra omnes).


Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakanhukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yangdipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jikaperlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam RencanaPembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidakmendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatanpembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksudmenciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.


Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalahpengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa.Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnyadosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk“memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telahdijatuhkan oleh putusan pengadilan.


Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikanoleh siapa pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadibangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan silaKemanusiaan yang adil dan beradab.(*)


*) Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad)

0 komentar:

Posting Komentar

 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts