.

Rabu, 26 Januari 2011

The Habibie Center: Tak Henti Dorong Demokrasi

Situasi awal reformasi tahun 1998 menempatkan Bacharuddin Jusuf Habibie, presiden ketiga Republik Indonesia, pada situasi transisi yang sulit. Sebagai teknokrat, bukan politisi, ia dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk memimpin bangsa yang tengah berada di pusaran besar demokratisasi. Di masa pemerintahan transisi yang berlangsung hanya setahun itu, fondasi demokrasi Indonesia harus dibangun.

Kebebasan pers, pemilu yang lebih bebas dan jujur, kebebasan berserikat dan berkumpul untuk mengembangkan partai politik, pembebasan tahanan politik, pemisahan polisi dari angkatan bersenjata, dan mereformasi birokrasi yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah beberapa dari fondasi demokrasi yang dibangun pada masa itu. Memang tidak seluruhnya sempurna, tetapi setidaknya perubahan ke arah Indonesia yang demokratis bisa terlihat di situ.

Demokratisasi Indonesia tak mungkin terbendung dan harus dilanjutkan. Visi itu yang mendorong Habibie, yang tidak lagi menjabat presiden, pada 10 November 1999 mendirikan The Habibie Center (THC), lembaga pemikir yang berkomitmen untuk memberi masukan dan warna dalam demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Sejumlah tokoh yang memiliki visi sama tentang demokratisasi, antara lain Dewi Fortuna Anwar, Muladi, dan Hasjim Djalal, bergabung membentuk THC.

Sebagai organisasi independen, nonpemerintah, dan nonprofit, THC memberikan perhatian pada keberlangsungan demokrasi dan HAM, pengembangan maritim, teknologi, dan media. Karena itu, dibentuklah sejumlah lembaga di bawah THC, yang meliputi Institute for Democracy and Human Rights, Maritime Constitution Institute, Media Development Center, dan Institute Democratization of Science Technology. Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia-Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Yayasan SDM-Iptek) yang sudah ada sebelumnya, juga milik keluarga besar Habibie, dimasukkan menjadi salah satu bagian dari THC.

”Meski mengusung visi besar demokrasi dan HAM, persoalan teknologi yang selama ini digeluti Pak Habibie tetap menjadi perhatian. Pak Habibie memandang, akses teknologi adalah bagian dari HAM, begitu juga dengan pendidikan,” kata Direktur Eksekutif The Habibie Center Rahimah Abdulrahim.

Bukan kendaraan politik
Pada awal pendiriannya, THC menghadapi tantangan besar berupa persepsi publik bahwa lembaga ini ditengarai adalah kendaraan politik bagi Habibie untuk kembali ke kancah kekuasaan. Selain itu, dengan menyandang nama Habibie, orang mengira lembaga ini adalah lembaga penyandang dana atau donor bagi lembaga lain.

”Cukup sulit untuk meyakinkan publik bahwa THC bukanlah kendaraan politik bagi Pak Habibie untuk kembali ke kekuasaan. Pembuktiannya hanya mungkin dilakukan dengan menjaga agar programnya dari tahun ke tahun sesuai dengan misi awal. Ketika pemilu, kami tidak ingin terseret arus politik mana pun. Kami selalu menempatkan diri pada posisi netral dan justru berkontribusi untuk ikut sebagai pemantau pemilu,” kata Rahimah.

Penempatan diri pada posisi netral ini unik mengingat personel di THC berasal dari beragam partai. ”Saat mereka berbicara atau berkiprah untuk THC, mereka diminta melepaskan kepentingan politiknya. Kami meminta mereka menanggalkan warna ’jaket’ mereka di pintu,” kata Rahimah.

Sebagai lembaga nonpemerintah, THC lebih memilih untuk tidak mengkritik pemerintah, tetapi sebagai lembaga pemikir yang hasil kajiannya bisa menjadi referensi bagi pembuat kebijakan publik. THC lebih senang jika diajak bekerja sama dengan instansi pemerintah karena bisa berpartisipasi langsung dalam penentuan kebijakan publik.

Sejumlah riset dihasilkan THC dan turut mewarnai pembuatan kebijakan publik, antara lain kajian tentang demokrasi lokal yang menjadi masukan bagi Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Mereka juga menghasilkan kajian perubahan konstitusi tahun 2003 yang diserahkan ke MPR serta memberikan masukan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, indeks demokrasi yang pemikiran dasarnya dari THC diadopsi Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pimpinan Muladi.

Nilai tambah dari THC adalah keberadaan pakar yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas di bidangnya. Meski THC tidak dimintai masukan secara kelembagaan, ahli yang tergabung di dalamnya juga sering dimintai masukan oleh pemerintah. Beberapa di antaranya adalah Siti Zuhro yang mumpuni dalam bidang pemerintahan, kini menjadi penasihat di Kemdagri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Dewi Fortuna Anwar yang sering dimintai masukan untuk urusan luar negeri.

Sumber : http://cetak.kompas.com/
Pakar itu adalah aset terbesar THC. (C Wahyu Haryo PS)

0 komentar:

Posting Komentar

 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts