.

Sabtu, 24 September 2011

Korupsi dan Problem Bangsa

Korupsi adalah memang menjadi problem bangsa Indonesia. Tetapi sebenarnya, problem itu tidak sekedar korupsi itu,  melainkan masih banyak lagi lainnya.  Sebenarnya korupsi harus dilihat secara utuh, yaitu sebagai sebab  dan  sekaligus  juga sebagai akibat. Tatkala korupsi dipandang sebagai sebab, maka yang terjadi kemudian adalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketidak-adilan, kesenjangan, penindasan dan lain-lain.
 Uang negara yang semestinya digunakan  untuk membiayai pendidikan, pengentasan kemiskinan, hingga penelitian untuk mendapatkan pengetahuan baru, inovasi,  dan pembaruan di berbagai bidang,  dan lain-lain, terpaksa tidak bisa dijalankan, oleh karena uang yang ada dikorupsi. Kerugian tidak saja berupa  uang tersebut, melainkan juga pikiran, tenaga,  dan juga energi lainnya.   Siapapun bisa  membayangkan, betapa besar energi yang  sehari-hari hanya terkuras untuk mencari  jalan keluar,  memberantas  korupsi itu.
 Maka korupsi harus diberantas segera dan secepat-cepatnya. Namun usaha itu ternyata tidak mudah dilakukan. Sebab korupsi sudah menjadi bagian dari kehidupan yang selalu ada di mana-mana, terutama di birokrasi pemerintah, baik di tingkat paling rendah hingga   di  pemerintahan tingkat pusat. Hampir-hampir tidak ada tempat yang bebas dari korupsi dengan tingkatan atau skalanya masing-masing.
 Korupsi pada kenyataannya ada di lingkungan pimpinan politik, birokrasi pemerintah, pengusaha besar, dan lain-lain. Semua kejahatan korupsi   tersebut memiliki kekuatan perusak yang amat dahsyat, tidak saja terkait dengan uang yang dikorup, melainkan juga  merusak mental di kalangan yang sangat luas. Keadaan seperti itu, menyebabkan  upaya  memberantas korupsi tidak mudah. Apalagi  korupsi juga  sudah dijalankan oleh mafia. Kita mengenal ada mafia hukum, mafia pajak, mafia politik,dan mafia-mafia lainnya.

Tatkala korupsi sudah menggurita, maka keadaannya  menjadi  semakin tidak  jelas, siapa sebenarnya yang memberantas korupsi dan yang diberantas itu. Sebab pada kenyataannya, orang-orang yang dipandang  getol memberantas korupsi, kemudian juga  ketahuan bahwa mereka sendiri juga korupsi. Tidak sedikit oknum jaksa, hakim, polisi, birokrat, politikus, pimpinan BUMN dan lain-lain akhirnya  diketahui  juga melakukan korupsi. Kasus  akhir-akhir ini,  terkait dengan Nazaruddin dan juga lainnya yang terlibat, semula adalah orang-orang yang berada pada satu barisan pemberantas korupsi.
 Selain itu, sebagaimana dikemukkan di muka,  bahwa korupsi seharusnya  juga  dilihat sebagai akibat. Struktur dan  budaya politik dan bahkan juga produk pendidikan yang dijalankan selama ini  bisa jadi  menumbuhkan perilaku korup. Korupsi akan selalu lahir dari iklim sosial,  politik, hukum,  dan pendidikan  yang sedang berjalan. Oleh karena itu, korupsi sebenarnya adalah lahir dari sistem yang sosial dan politik yang sedang berkembang.  Sebuah sistem tertentu bisa saja mengantarkan siapapun yang berada pada posisi  itu,  melakukan hal yang sama, yaitu korupsi.
 Contoh sederhana yang terjadi pada akhir-akhir ini,   bahwa  lebih dari 50 % gubernur dan bupati dan walikota di Indonesia sudah menjadi tersangka tindak kejahatan korupsi dan bahkan sebagian sudah masuk penjara. Padahal pimpinan daerah itu awalnya adalah dipilih  langsung oleh rakyat. Sebelum menjabat, tentu oleh pemilihnya, mereka  dipandang sebagai orang baik, bijak dan memiliki kelebihan-kelebihan  lain hingga dipercaya sebagai kepala daerah. 
 Korupsi tidak saja terjadi di lingkungan  eksekutif,  tetapi juga  di legislatif maupun yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah.  Oleh karena itu pertanyaan yang harus segera dicari jawabnya adalah,  mengapa orang-orang  yang merupakan hasil  pilihan rakyat  ternyata  tidak amanah. Siapa sebenarnya yang salah, apakah rakyat yang memilih,  atau sistem di mana mereka itu berada, dan atau bahkan kedua-duanya. Membersihkan kejahatan korupsi, hanya dengan pendekatan hukum, yaitu bahwa mereka yang salah harus diadili dan dihukum, maka bisa jadi,   penjara seluas apapun tidak akan  mampu menampungnya.
 Tulisan ini tidak  bermaksud agar pemberantasan korupsi dihentikan. Tidak demikian. Korupsi harus diberantas, tetapi  tidak boleh menggunakan pendekatan yang salah. Tidak boleh korban memberantas korupsi justru menambah kerugian aset bangsa yang justru lebih mahal harganya. Bangsa ini tidak hanya harus menyelamatkan uang negara, tetapi juga harus menyelamatkan pula anak bangsa yang sudah menjadi pemimpin, tokoh,  ilmuwan, profesional, dan lain-lain.  Mereka itu   harganya tidak terhitung besarnya.  Manakala aset bangsa  tersebut ternyata  menjadi korban sistem,  kemudian masuk ke penjara, maka kerugian itu akan bertambah besar dan menghambat kemajuan bangsa ini sendiri di masa depan.
 Apabila  korupsi  adalah sebagai akibat dari sistem yang dijalankan, maka sistem  itu harus  segera diubah. Sistem  yang menjadikan seseorang   rawan melakukan penyimpangan, maka tidak boleh dipertahankan. Rekrutmen pejabat pemerintah,  baik  di legislatif, eksekutif dan bahkan yudikatif yang  harus menggunakan biaya tinggi,  sebenarnya adalah merupakan salah satu faktor penyebab lahirnya kejahatan itu. Seorang yang diangkat menjadi bupati, walikota, gubernur dan,  atau anggota DPR dengan harus mengeluarkan dana pribadi yang cukup besar, maka mau tidak mau, akan mencari uang kembali dari jabatannya itu.
 Sebagai akibat dari sistem dan budaya politik  seperti itu,  maka   jabatan bukan dipandang lagi  sebagai lapangan pengabdian, melainkan akan menjadi arena bisnis untuk mendapatkan keuntungan.  Akibatnya,   pemimpin bukan lagi  akan  berbagi-bagi kasih sayang untuk memajukan rakyat, melainkan akan menjadi beruang yang sewaktu-waktu justru  memangsa buruannya. Itulah di antara problem bangsa, yang mendesak untuk diselesaikan. Wallahu a’lam.      
 uin-malang

0 komentar:

Posting Komentar

 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts