Berbagai kasus korupsi di Indonesia terasa seperti tak kunjung berhenti, bahkan makin lama semakin menggurita baik pada aras birokrasi dan politik. Hal ini mengingatkan kembali konsep dari Karl D. Jackson dan Lucian W. Pye (1978) mengenai bureaucratic polity yang dia definisikan sebagai sebuah sistem yang mana sekelompok birokrat, teknokrat dan pejabat militer/polisi senior berpartisipasi secara otoritatif dalam pengambilan keputusan, yang kemudian hasil keputusannya lebih merefleksikan nilai dan kepentingan dari kelompok elite tersebut. Jika definisi dari karya lama tersebut kita gunakan untuk memahami berbagai kasus korupsi di Indonesia, tampak terasa bahwa bureaucratic polity tersebut memberi latar terhadap berbagai kasus korupsi di negeri ini. Paling tidak hal ini ditunjukkan hampir dari semua kasus korupsi merupakan peristiwa yang dilakukan secara berjemaah sehingga melibatkan rantai partisipasi korupsi oleh birokrat, teknokrat dan pejabat militer/polisi.
Demokratisasi di Indonesia yang merupakan produk dari reformasi/reorganisasi politik pasca krisis ekonomi 1998 memang telah menjadikan Indonesia menjadi Negara yang demokratis. Namun 13 tahun kemudian, prinsip-prinsip demokrasi selama ini lebih terasa berjalan sebagai instrument prosedural politik belaka, daripada prosedur transparansi anggaran untuk kesejahteraan rakyat. Kemungkinan besar dari hal ini adalah proses demokratisasi masih terganjal oleh bureaucratic polity dalam pengambilan keputusan. Mengapa hal ini terjadi? Kekuatan-kekuatan ekonomi yang berkolusi dengan aparatus Negara pada masa Orde Baru telah melakukan reorganisasi di tubuh oligarkinya sehingga mereka akhirnya masuk ke wilayah yang lebih politis yaitu partai politik. Lebih dari itu, mereka juga masih mempertahankan ikatannya dengan tubuh birokrasi negara. Hasilnya adalah baik birokrasi pemerintahan maupun hukum masih dikuasai oleh kekuatan oligarki dari sisa-sisa Orde Baru maupun yang kekinian. Akibatnya korupsi di tingkat birokrasi berkecenderungan untuk melibatkan pihak-pihak politisi, birokrat, dan kepolisian. Ini adalah alih rupa dari karakter bureaucratic polity yang digunakan oleh Jackson dan Pye untuk memahami perpolitikan di Indonesia, dan kini dapat digunakan untuk memahami karakter perkorupsian di Indonesia.
Akibat logis dari kondisi perkorupsian di Indonesia yang sifatnya berjemaah dan menggurita di tubuh birokrasi pemerintahan, hukum dan kepolisian bahkan pelaku oligarki, maka negeri ini telah menjadi wilayah operasi mafia korupsi. Berbagai kasus hukum yang melibatkan tokoh-tokoh mafia korupsi bersekala besar secara hukum tak pernah tuntas karena satu sama lain saling bahu-membahu dan bergotong-royong mencegah terjadinya penindakan terhadap koruptor. Lebih dari itu, gurita oligarki yang pada masa orde baru lebih mendominasi birokrasi di tingkat pusat, juga mengalami desentralisasi guritanya seiring dengan desentralisasi politik dan birokrasi pemerintahan. Akibatnya, bermunculan pula oligarki di tingkat daerah yang juga bermafia dengan para politisi, aparat hukum dan kepolisian serta politisi partai. Korupsi semakin rumit demikian pula dengan penindakan terhadap kasus korupsi juga semakin berbelit-belit sehingga orang akhirnya melupakannya. Mungkin melupakan inilah yang dikondisikan untuk terjadi.
Bureaucratic polity yang telah menjadi latar belakang dari sistem politik di Indonesia seperti menemukan kembali rohnya setelah digempur oleh demokrasi dengan berbagai dalil seperti transparansi, good and clean governance, dan otonomi daerah. Roh tersebut tampak terasa seperti berinkarnasi kedalam berbagai cara dan ragam korupsi, dan di lahan korupsi inilah mereka berpartisipasi untuk menghancurkan Indonesia secara pelahan tapi pasti. Mereka menggunakan instrumen politik maupun birokrasi untuk menjaga kepentingan mereka dan inilah ‘politisasi dan birokratisasi kasus korupsi’. Nasionaliskah mereka sementara mereka dengan lantang berteriak “merdeka” padahal kaki dan tangan mereka menjajah negerinya sendiri dengan korupsi?
0 komentar:
Posting Komentar