Oleh:Antonius Sudirman
(DekanFakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar)
Larry Diamond (Romli, 2007),menyebutkan bahwa esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatuperilaku dan sikap, baik di tingkat elite maupun massa, yang mencakup danbertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi.
Pertanyaannya, apakah demokrasi di Indonesia terkonsolidasi dengan baik?Bagaimanakah hubungan agama dan demokrasi? Dan bagaimanakah peran lembaga agamadalam mewujudkan konsolidasi demokrasi?
Dari segi prosedural, konsolidasi demokrasi di Indonesia sudah berjalan denganbaik meskipun belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal.
Pertama, telah dilakukan amandemen konstitusi yang mengatur beberapa masalahpenting, antara lain HAM diatur secara komprehensif; Presiden dan WakilPresiden dipilih secara langsung oleh rakyat; masa jabatan Presiden dan WakilPresiden adalah lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuksatu kali masa jabatan; Anggota DPR/DPRD dan DPD dipilih melalui Pemilu.
Kedua, telah dibentuk lembaga-lembaga negara yang berperan sebagai pengawaldemokrasi (Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi HukumNasional, Komisi Yudisial dan Komnas HAM.
Ketiga, telah dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mendukungkonsolidasi demokrasi (UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Pers dan UU HAM).Keempat, terselenggaranya Pemilu secara teratur setiap lima tahun.
Namun, dalam pelaksanaannnya demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi. Halitu didasarkan atas beberapa alasan;
(1) Penyelenggara negara lemah dalam pengimplementasian ketentuanperundang-undangan demi terwujudnya kesejahteraan umum;
(2) Perilaku para elite cenderung menghalalkan cara untuk mencapai tujuan.Misalnya, kisruh DPT dan kasus kecurangan dalam Pemilu 2009 dan Pemilukada dibeberapa daerah;
(3) Koalisi antar-partai politik bukan didasarkan persamaan ideologi danplatform partai serta untuk kepentingan negara, melainkan didasarkan ataspembagian kekuasaan;
(4) Pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif terlibat KKN yang menyebabkankerugian keuangan negara dan dapat merusak sendi-sendi demokrasi dan keutuhanNKRI; (5) Penegakan hukum terutama kasus korupsi dan pelanggaran HAM, tidakdilaksanakan sebagaimana mestinya dan terkesan tebang pilih.
Demokrasi dan Agama
Samuel Huntington menegaskan, ada empat kategori hubungan demokrasi denganagama yakni: (1) tindakan beragama yang pro demokrasi seperti ditunjukkanmasyarakat yang beragama Protestan; (2) tindakan beragama yang moderat terhadapdemokrasi seperti masyarakat Hindu dan Shinto; (3) tindakan beragama yangmenunda demokrasi seperti masyarakat yang didominasi Katolik; (4) tindakanberagama yang pro otoritarian seperti yang terdapat pada masyarakat yangdidominasi oleh agama Buddha, Confucius dan Islam (Isak, Media Indonesia,21/6/1996).
Dari sudut pandang agama Katolik (Gereja), pernyataan Samuel Huntington padabutir ketiga kurang tepat karena tidak sesuai ajaran Gereja, yakni; Pertama,Gereja mewartakan ajaran cinta kasih. Dalam Injil Markus 12: 30-31 difirmankan:Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dandengan segenap akal budimu dan kekuatanmu. Dan kasihilah sesamamu manusiaseperti dirimu sendiri.
Kedua, Gereja sangat menentang tindakan kekerasan (termasuk menggunakan simbolagama) untuk mencapai tujuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya danbidang-bidang lainnya (CA 46 butir 5). Ketiga, Gereja mengakui eksistensi agamalain. Dalam Konsili Vatikan II ditegaskan, di luar persekutuan Gereja punterdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran (LG 8).
Keempat, Gereja menentang diskriminasi dan mendesak dihapuskannya diskriminasidalam segala macam bentuknya. Dalam Gaudium et Spes ditegaskan, ”Setiap bentukdiskriminasi, entah yang bersifat sosial atau kebudayaan, entah didasarkan padajenis kelamin, warna kulit, suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama ....karena berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah” (GS 29).
Kelima, Gereja mengakui hak berserikat dalam kemerdekaan. Allah berkenanmenguduskan dan menyelamatkan manusia bukannya satu per satu, tanpa hubungansatu dengan lainnya, melainkan dengan membentuk mereka menjadi umat, yangmengakuinya dalam kebenaran dan mengabdi-Nya dengan suci (LG 9).
Keenam, Gereja memiliki kepedulian terhadap masalah sosial-ekonomi dan politik.Dalam Ensiklik Pacem in Terris (1963) yang ditulis Paus Yohanes Paulus XXIIIdibicarakan tentang perdamaian antara bangsa-bangsa.
Juga dalam Ensiklik Centesimus Annus (1991) yang dikeluarkan Paus YohanesPaulus II ditegaskan, Gereja menghargai sistem demokrasi, karena itu menjaminbahwa para warga negara berperan serta dalam pengambilan keputusan politik,lagi pula menjamin peluang rakyat bawahan memilih para pemimpin, memintapertanggungjawaban mereka dan bila itu memang perlu, menggantikan mereka secaradamai (CA 46).
Dapat disimpulkan, tidak benar Katolik menunda terwujudnya demokrasi.Sebaliknya, justru mendukung terciptanya kehidupan sosial-ekonomi, politik yangdemokratis. Kunkler dan Meyer-Resende (2007) menegaskan, Gereja tambah negarabisa sama dengan demokrasi.
Ditegaskan pula, hubungan antara lembaga-lembaga keagamaan dan politis di UniEropa banyak yang berlangsung di bawah kekuasaan hukum demokratis yang telahberumur panjang, dan komitmen negara-negara tersebut terhadap liberalismedemokratis biasanya tidak dipertanyakan.
Peran Lembaga Agama
Demi terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commune) maka sebagai bagianintegral dari NKRI, Gereja harus melakukan berbagai upaya untuk mewujudkandemokrasi yang terkonsolidasi (consolidated democracy) di Indonesia.Bentuk-bentuk keterlibatan Gereja yakni:
(a) Gereja harus berani menyuarakan kebenaran serta mampu mengadakan pembelaanterhadap warga negara yang menjadi korban ketidakadilan sosial;
(b) Mendorong kaum awam mengabdikan dirinya di sektor publik (eksekutif,legislatif, yudikatif, Orsospol, LSM, pers) sebagai garam dan terang dunia;
(c) Memberikan pendampingan rohani bagi kaum awam yang terlibat di sektorpublik;
(d) Mengarahkan kaum awam untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasidalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara;
(e) Melakukan pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dalam segalabidang: ekonomi, sosial dan politik; (f) Gereja tidak boleh memberikantoleransi pada tindakan kekerasan atas nama agama baik untuk penyebaran ajaranmaupun kepentingan lain.
Akhirnya, dalam konteks NKRI yang pluralis, Gereja Katolik harus bergandengantangan dengan lembaga agama lain dalam memperjuangkan terwujudnya demokrasiyang terkonsolidasi di Indonesia.
Dalam Konsili Vatikan II ditegaskan, umat Katolik dinasihati supaya denganbijaksana dan penuh kasih memulai dialog dan kerja sama dengan para penganutagama-agama lain, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohanidan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka (NA 2). (*)
Pertanyaannya, apakah demokrasi di Indonesia terkonsolidasi dengan baik?Bagaimanakah hubungan agama dan demokrasi? Dan bagaimanakah peran lembaga agamadalam mewujudkan konsolidasi demokrasi?
Dari segi prosedural, konsolidasi demokrasi di Indonesia sudah berjalan denganbaik meskipun belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal.
Pertama, telah dilakukan amandemen konstitusi yang mengatur beberapa masalahpenting, antara lain HAM diatur secara komprehensif; Presiden dan WakilPresiden dipilih secara langsung oleh rakyat; masa jabatan Presiden dan WakilPresiden adalah lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuksatu kali masa jabatan; Anggota DPR/DPRD dan DPD dipilih melalui Pemilu.
Kedua, telah dibentuk lembaga-lembaga negara yang berperan sebagai pengawaldemokrasi (Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi HukumNasional, Komisi Yudisial dan Komnas HAM.
Ketiga, telah dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mendukungkonsolidasi demokrasi (UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Pers dan UU HAM).Keempat, terselenggaranya Pemilu secara teratur setiap lima tahun.
Namun, dalam pelaksanaannnya demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi. Halitu didasarkan atas beberapa alasan;
(1) Penyelenggara negara lemah dalam pengimplementasian ketentuanperundang-undangan demi terwujudnya kesejahteraan umum;
(2) Perilaku para elite cenderung menghalalkan cara untuk mencapai tujuan.Misalnya, kisruh DPT dan kasus kecurangan dalam Pemilu 2009 dan Pemilukada dibeberapa daerah;
(3) Koalisi antar-partai politik bukan didasarkan persamaan ideologi danplatform partai serta untuk kepentingan negara, melainkan didasarkan ataspembagian kekuasaan;
(4) Pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif terlibat KKN yang menyebabkankerugian keuangan negara dan dapat merusak sendi-sendi demokrasi dan keutuhanNKRI; (5) Penegakan hukum terutama kasus korupsi dan pelanggaran HAM, tidakdilaksanakan sebagaimana mestinya dan terkesan tebang pilih.
Demokrasi dan Agama
Samuel Huntington menegaskan, ada empat kategori hubungan demokrasi denganagama yakni: (1) tindakan beragama yang pro demokrasi seperti ditunjukkanmasyarakat yang beragama Protestan; (2) tindakan beragama yang moderat terhadapdemokrasi seperti masyarakat Hindu dan Shinto; (3) tindakan beragama yangmenunda demokrasi seperti masyarakat yang didominasi Katolik; (4) tindakanberagama yang pro otoritarian seperti yang terdapat pada masyarakat yangdidominasi oleh agama Buddha, Confucius dan Islam (Isak, Media Indonesia,21/6/1996).
Dari sudut pandang agama Katolik (Gereja), pernyataan Samuel Huntington padabutir ketiga kurang tepat karena tidak sesuai ajaran Gereja, yakni; Pertama,Gereja mewartakan ajaran cinta kasih. Dalam Injil Markus 12: 30-31 difirmankan:Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dandengan segenap akal budimu dan kekuatanmu. Dan kasihilah sesamamu manusiaseperti dirimu sendiri.
Kedua, Gereja sangat menentang tindakan kekerasan (termasuk menggunakan simbolagama) untuk mencapai tujuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya danbidang-bidang lainnya (CA 46 butir 5). Ketiga, Gereja mengakui eksistensi agamalain. Dalam Konsili Vatikan II ditegaskan, di luar persekutuan Gereja punterdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran (LG 8).
Keempat, Gereja menentang diskriminasi dan mendesak dihapuskannya diskriminasidalam segala macam bentuknya. Dalam Gaudium et Spes ditegaskan, ”Setiap bentukdiskriminasi, entah yang bersifat sosial atau kebudayaan, entah didasarkan padajenis kelamin, warna kulit, suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama ....karena berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah” (GS 29).
Kelima, Gereja mengakui hak berserikat dalam kemerdekaan. Allah berkenanmenguduskan dan menyelamatkan manusia bukannya satu per satu, tanpa hubungansatu dengan lainnya, melainkan dengan membentuk mereka menjadi umat, yangmengakuinya dalam kebenaran dan mengabdi-Nya dengan suci (LG 9).
Keenam, Gereja memiliki kepedulian terhadap masalah sosial-ekonomi dan politik.Dalam Ensiklik Pacem in Terris (1963) yang ditulis Paus Yohanes Paulus XXIIIdibicarakan tentang perdamaian antara bangsa-bangsa.
Juga dalam Ensiklik Centesimus Annus (1991) yang dikeluarkan Paus YohanesPaulus II ditegaskan, Gereja menghargai sistem demokrasi, karena itu menjaminbahwa para warga negara berperan serta dalam pengambilan keputusan politik,lagi pula menjamin peluang rakyat bawahan memilih para pemimpin, memintapertanggungjawaban mereka dan bila itu memang perlu, menggantikan mereka secaradamai (CA 46).
Dapat disimpulkan, tidak benar Katolik menunda terwujudnya demokrasi.Sebaliknya, justru mendukung terciptanya kehidupan sosial-ekonomi, politik yangdemokratis. Kunkler dan Meyer-Resende (2007) menegaskan, Gereja tambah negarabisa sama dengan demokrasi.
Ditegaskan pula, hubungan antara lembaga-lembaga keagamaan dan politis di UniEropa banyak yang berlangsung di bawah kekuasaan hukum demokratis yang telahberumur panjang, dan komitmen negara-negara tersebut terhadap liberalismedemokratis biasanya tidak dipertanyakan.
Peran Lembaga Agama
Demi terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commune) maka sebagai bagianintegral dari NKRI, Gereja harus melakukan berbagai upaya untuk mewujudkandemokrasi yang terkonsolidasi (consolidated democracy) di Indonesia.Bentuk-bentuk keterlibatan Gereja yakni:
(a) Gereja harus berani menyuarakan kebenaran serta mampu mengadakan pembelaanterhadap warga negara yang menjadi korban ketidakadilan sosial;
(b) Mendorong kaum awam mengabdikan dirinya di sektor publik (eksekutif,legislatif, yudikatif, Orsospol, LSM, pers) sebagai garam dan terang dunia;
(c) Memberikan pendampingan rohani bagi kaum awam yang terlibat di sektorpublik;
(d) Mengarahkan kaum awam untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasidalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara;
(e) Melakukan pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dalam segalabidang: ekonomi, sosial dan politik; (f) Gereja tidak boleh memberikantoleransi pada tindakan kekerasan atas nama agama baik untuk penyebaran ajaranmaupun kepentingan lain.
Akhirnya, dalam konteks NKRI yang pluralis, Gereja Katolik harus bergandengantangan dengan lembaga agama lain dalam memperjuangkan terwujudnya demokrasiyang terkonsolidasi di Indonesia.
Dalam Konsili Vatikan II ditegaskan, umat Katolik dinasihati supaya denganbijaksana dan penuh kasih memulai dialog dan kerja sama dengan para penganutagama-agama lain, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohanidan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka (NA 2). (*)
http://metronews.fajar.co.id/read/104626/19/iklan/index.php
0 komentar:
Posting Komentar