By : J. Soedradjad Djiwandono *)
Pendahuluan
Masalah Korupsi, Kolusidan Nepotisme (KKN) di Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang berarti dalampenanganannya. Sebagai permasalahan sosial-politik secara umum atau sebagaikasus masalah tertentu kerapkali muncul sebagai berita hangat di berbagai mediaselama beberapa waktu, tetapi kemudian setelah ditanggapi Pemerintah dengansesuatu langkah tindakan penanganan, kemudian hilang lagi tanpa adapenyelesaian nyata. Muncul lagi, kemudian hilang lagi dengan cepat. Harapanmasyarakat dengan mambahas bersama, mempermasalahkan dan memprotes KKN adalahuntuk menghilangkannya. Sedang yang terlihat, seperti berbagai masalah lain,setelah beberapa waktu diributkan kemudian menjadi adem kembali.
Tulisan ini melihatmasalah KKN sebagai implikasi dari suatu sikap hidup yang mengandung unsur'lebih besar pasak dari tiang' yang secara sadar atau tidak telah menggejalapada masyarakat Indonesia, baik secara bersama maupun sebagai pribadi. . Sikapdemikian menumbuhkan tindakan mencari jalan pintas dengan berbagai cara yangmelanggar hukum atau peraturan atau nilai, untuk mencapai apa yang diinginkan.Pelanggaran-pelanggaran ini dilakukan dengan tindakan korupsi, kolusi dannepotisme atau KKN. Menghilangkan KKN dari masyarakat kita berarti meninggalkansikap hidup ini dan menggantinya dengan sikap baru yang harus dipupuk dandikembangkan masyarakat Indonesia pasca krisis.
Kebiasaan Hidup Lebih Besar Pasak DariTiang
Untuk melihat artisikap hidup yang lebih besar pasak dari tiang secara nasional, saya inginterlebih dahulu kembali pada permasalahan pembangunan nasional. Pembangunanpada dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan saat ini, akan tetapi hasilnyaatau buahnya baru dapat kita petik kemudian. Orang membangun sebuah rumah,bukan untuk menikmati kegiatan atau proses membangun itu sendiri. Akan tetapiuntuk suatu tujuan, yaitu agar setelah selesai pembangunannya, dia memilikisuatu tempat tinggal, 'a home' kata orang. Untuk ini orang tersebut harusmempunyai sarana pembiayaannya.
Dalam jargon ekonomitindakan membangun rumah tadi merupakan investasi. Masyarakat membangun denganmelakukan investasi yang diarahkan untuk mencapai sasaran tertentu di masadepan, biasanya dirumuskan sebagai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.Masa depan ini dapat beberapa hari, bulan, tahun atau puluhan tahun yang akandatang. Pelaksanaan kegiatan ini memerlukan sarana, salah satu yang sangatpenting adalah sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan utama biasanya berasal daritabungan. Menabung adalah perbuatan menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuktidak dikonsumsikan (tidak dinikmati sekarang). Pada negara yang sedangmembangun, keinginan untuk investasi dalam pembangunan ini biasanya besar,karena besarnya sasaran yang ingin dicapai. Bahkan kerapkali keinginanmembangun suatu negara lebih besar dari kemampuan untuk membiayainya. Ekonommengatakan bahwa negara yang sedang membangun biasanya menghadapi suatukesenjangan antara investasi dengan tabungan masyarakat atau investment-savinggap.
Bagaimana menutupatau membiayai kesenjangan antara pengeluaran investasi dengan tabunganmasyarakat tersebut? Suatu negara dapat membiayai kesenjangan ini denganmendatangkan modal langsung dari luar negeri, dengan meminta bantuan dan denganmencari pinjaman dari negara lain. Memminjam dari masyarakat lain sama denganmenggunakan tabungan masyarakat lain tersebut. Membiayai kesenjangan antarainvestasi dan tabungan dengan pinjaman adalah sesuatu yang wajar. Akan tetapitindakan meminjam dari negara lain atau masyarakat lain itu juga mempunyaikonsekuensi tersendiri, karena pinjaman itu pada waktunya harus dibayarkembali, ditambah suatu imbalan atas penggunaan tabungan tersebut (suku bunga).Jadi kalau menggunakan pinjaman untuk membiayai kekurangan tabungan dalamnegeri dari biaya investasi, harus dipikirkan bagaiamana melakukan pembayarankembali pinjaman tersebut, berupa angsuran dan bunganya, serta resiko berkaitandengan perbedaan waktu meminjam dan mengembalikan pinjaman tersebut.
Agar pembangunandengah menggunakan pinjaman dari masyarakat lain dapat berkesinambungan, makakebijakan pembiayaan dengan meminjam harus bertanggung jawab. Ini suatu masalahpengelolaan pinjaman dan streategi memimjam ( debt management and borrowingstrategy ). Yang penting dalam pembahasan di sini adalah bahwa untuk memiliki kesinambunganpembangunan (sustainable development), maka penggunaan pinjaman sebagai carapembiayaan harus berhati-hati.Kalau terjadi suatu negara yang membangun denganmeminjam dan tidak bisa membayar kembali, maka pembangunan menjadi terhentiatau tidak berkesinambungan. Ketidak mampuan mengembalikan pinjaman tersebutmenunjukkan pola pembangunan yang lebih besar pasak dari tiang.
Mungkin perludisadarai bahwa perjalanan pembangunan nasional Indonesia dalam era Orde Barutelah mengalami perkembangan, dimulai akhir dasawarsa enam puluhan denganpembangunan yang didominasi sektor pemerintah, karena sektor swata masih kecildan lemah. Akan tetapi dengan perkembangan ekonomi nasional, dengan lajupertumbuhan yang cukup tinggi selama beberapa dasawarsa, maka berangsur-angsurperan swasta dalam kebanyakan sektor menjadi lebih besar, dan akhirnya menjadilebih dominan. Coba kalau dilihat pada sektor perbankan, sampai dengan waktuderegulasi perbankan yang sangat mendasar tahun 1988, bank-bank pemerintahmasih mendominasi industri perbankan Indonesia, baik dari segi aset yangdikuasai, dana yang dimobilisasikan maupun kredit yang diberikan. Pola iniberubah terutama mulai permulaan dasawarsa sembilan puluhan. Sebagaiperbandingan, kalau pada tahun delapan puluhan peran bank-bank pemerintahdiukur dengan berbagai besaran di atas masih lebih dari 70 per sen, menjelangterjadinya krisis telah menurun menjadi kurang dari 50 per sen.
Dengan perubahanperan swasta dalam perbandingannya dengan pemerintah, telah terjadi pulaperubahan dalam cara pembiayaan kegiatan ekonomi dan pembangunan masyarakat.Perubahan dalam negeri yang bersamaan dengan meningkatnya jumlah dana di dunia,antara lain karena melemahnya ekonomi negara-negara maju, seperti negara-negaraEropa dan Jepang pada akhir delapan puluhan dan permulaan sembilan puluhan,menyebabkan pola pembiayaan kegiatan ekonomi nasional semakin menggantungkanpada pinjaman luar negeri. Perubahan yang dimulai sejak permulaan sembilanpuluhan ini menjadi sangat mencolok pertengahan sembilan puluhan.Ketergantungan sektor swasta pada pinjaman dalam mata uang asing ini kemudianmenjadi salah satu penyebab terjadinya krisis keuangan di Indonesia, pada waktuinvestor beramai-ramai penarik pinjaman mereka karena ingin menyelamatkan diridari akibat krisis di Indonesia. Pada waktu pinjaman nasional masih didominasisektor Pemerintah kehati-hatian terjaga, akan tetapi kemudian berubah dengandominasi pinjaman swasta.
Ada beberapa hal yangmenyebabkan meningkatnya pinjaman luar negeri. Seperti diutarakan sebelumnya,dana yang tersedia di dunia meningkat, karena melemahnya ekonomi negara maju,sehingga dana tersebut mencari kesempatan investasi di negara-negara berkembang(emerging markets), yang menjanjikan keuntungan lebih tinggi. Di Indonesiaperkembangan sektor swasta sangat meningkat sebagai dampak dari kebijakanliberalisasi yang telah dimulai pertengahan delapan puluhan. Keadan ini telahmenimbulkan perbedaan suku bunga pinjaman ( differential rates) antara dalamdan luar negeri yang melebar. Di dalam negeri suku bunga meningkat terus akibatmeningkatnya permintaan yang luar biasa. Sedangkan di luar negeri melemahnyaekonomi menyebabkan suku bunga tertekan. Karena itu baik dari permintaan maupunpenawaran terdapat dorongan untuk membesarnya pinjaman perusahaan swasta keluar negeri atau meningkatnya pinjaman dalam mata uang asing (dollar). Semuaini masih ditambah dengan adanya unsur 'moral hazard', baik di di dalam negerioleh perusahaan peminjam maupun luar negeri oleh pemilik dana pemberi pinjaman.
Di dalam negeri adapersepsi bahwa Pemerintah akan selalu menolong perusahaan yang kena masalah danada persepsi bahwa sistim nilai tukar yang dianut Pemerintah adalah nilai tukartetap atau di kaitkan secara tetap dengan dollar atau suatu basket mata uangasing. Jadi peminjam di dalam negeri (perusahaan-perusahaan swasta) yakin bahwanilai tukar antara rupiah dengan mata uang asing tidak akan bergerak terlalubesar. Dari pemilik dana di luar negeri atau investor, ada persepsi bahwa pemerintah'host country' (Indonesia) atau Dana Moneter Internasional akan menolong kalauterjadi suatu musibah. (bail out). Semua unsur ini menyebabkan kekuranghati-hatian mereka yang meminjam dan yang meminjamkan. Perusahaan nasionalterlalu banyak mengandalkan pinjaman untuk membiayai kegiatan mereksa sehingga'debt to equity ratio' menjadi sangat tinggi atau 'highly leveraging' sedangkaninvestor tidak hati-hati sehingga kurang memperhitungkan resiko pemberianpinjaman . Ini yang menyebabkan perusahaan-perusahaan di Indonesia dan negaraberkembang lain di Asia terlalu banyak mengandalkan pinjaman. Lebih jauh,pinjaman asing ini sebagian besar berjangka pendek dan tidak dilakukan tindakanlindung nilai (hedging) . Dalam keadaan demikian pinjaman ini dirasakan sangatmurah, karena itu penggunaannya kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian.Pinjaman dalam dollar digunakan untuk membiayai kegiatan yang kurang produktifdan yang menghasilkan rupiah, seperti untuk pengembangan properti. Pada waktutimbul tekanan sangat besar pada rupiah dan terjadi depresiasi sangat besarkebanyakan peminjam tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka yang jatuhtempo. Sebagai akibatnya banyak dari pinjaman ini menjadi kredit macetperbankan.
Sekarang lebihdisadari bahwa kebijakan deregulasi yang kurang memperhatikan kehati-hatian dankurang menyadari perbedaan karakteristik perbankan dengan sektor riil telahikut mendorong perbankan Indonesia 'highly leveraging'. Sebagaimana diketahui,rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio) yang sejak tahun tujuh puluhansebesar 30 per sen telah diturunkan dalam deregulasi Juni 1983 menjadi 15 persen dan pada Oktober 1988 diturunkan lagi menjadi 2 per sen. Ini sebenarnyaberarti bahwa perbankan didorong untuk memimjamkan hampir semua dana yangditerima dari nasabah.
Perusahaan yang yangcenderung mempunyai rasio pinjaman terhadap modal yang tinggi dan lebih banyakmeminjam dalam mata uang asing (bahkan pinjaman pada bank dalam negeri sekitar50% dalam dollar) karena 'moral hazard' pada dasarnya menunjukkan sikap duniausaha yang 'lebih besar pasak dari tiang'. Karena salah memperhitungkan hargadan resiko pinjaman, maka mereka menjadi kurang dalam kehati-hatiannya,sehingga penggunaan pinjamannya juga tidak didasarkan atas perhitungan yangakurat. Dalam hal ini, bank yang memegang rasio cadangan wajib sangat minim(antara lain karena kebijakan Pemerintah) juga sebenarnya menunjukkan sikapyang sama, berusaha dengan lebih besar pasak dari tiang.
Kalau pengamatan inidilanjutkan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Nampaknya juga ditemukanbahwa masyarakat Indonesia semakin konsumtif, meskipun secara makro rasiotabungan nasional terhadap GDP relatif tinggi. Sebagaimana diketahui beberapatahun sebelum krisis, laju pertumbuhan ekonomi nasional sebagian besar berasaldari sumber dalam negeri, artinya peningkatan pengeluaran masyarakat, untukkonsumsi dan investasi, meskipun kebijakan pembangunan nasional mengacu padadaya dongkrak ekspor (export-led development). Saya kira kita melihat hal inisecara pengamatan sepintas di banyak kota di Indonesia, apalagi kota besar.Sebagai pengaruh dari advertensi dalam banyak media komunikasi, sebagaipengaruh dari pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dengan toko-toko yangmenyajikan segala nama merk terkenal untuk segala pakaian dan barang kemewahan(dari Gap sampai Louis Vutton, atau coba bayangkan, dengan pendapatan perkepala kita yang masih sebegitu di Jakarta ada perwakilan Christie) dan rumahmakan serta tempat hiburan (dari McDonald sampai Café Design) kecenderunganpengeluaran untuk hal-hal yang bersifat konsumtif sangat membengkak beberapatahun menjelang krisis. Semua ini masih harus ditambah dengan kecenderunganmasyarakat untuk berpesta secara besar-besaran untuk segala hajatan dari bayidalam kandungan sampai seribu hari setelah bayi tadi menjadi orang tua danmeninggal, banyak sekali acara ( ulang tahun, pertunagan, pernikahan dst)dengan segala bentuk kegiatan yang dari sudut pandang ekonomi pada dasarnyakonsumtif dan cenderung berlebihan.
Semua gambaran diatas menunjukkan bahwa baik secara nasional (makro) maupun secara mikro padatingkat perusahaan dan keluarga atau individu, kecenderungan masyarakat memangkuat bahwa kita telah hidup lebih besar pasak dari tiang. Apakah ini barangbaru? Bukan. Ini hanya mengingatkan kembali apa yang kita lakukan bersamaselama ini.
@Visiting Scholar, Harvard Institute for International Development (HIID),Cambridge, MA and former Governor of Bank Indonesia. (sdjiwand@hiid.harvard.edu or djiwandono@aol.com).
1Dewasa ini, dengan banyaknya bank swasta yang diambil alih Pemerintah (IBRA),sebagai akibat dari pinjaman likuiditas dari BI pada waktu terjadinya penarikandana secara besar-besaran oleh masyarakat pada waktu krisis perbankan, makakepemilikan Pemerintah pada sektor perbankan menjadi meningkat lagi, mungkinmendekati 80 per sen.
2Saya membahas permasalahan ini dalam tulisan Debt and Development: A MuddlingThrough Process, suatu makalah untuk Seminar PERMIAS di UC Berkeley, Maret 1999( dalam website Pacific.net, kolom pakar). Salah satu perkembangan yangmencolok adalah bahwa selama lima tahun dari 1992-97 pinjaman Pemerintahmeningkat dengan sekitar 5 milyar dollar, sedangkan pinjaman swasta meningkatdengan 50 milyar dollar.
3Ini juga menunjukkan kurang hati-hatinya otorita pengawasan perbankan dinegara-negara maju tempat asal investor, karena pinjaman-pinjaman tersebutdiberikan oleh bank-bank negara maju, terutama Jepang dan negara-negara Eropadengan sebagian lain dari Korea dan A.S.
4Dengan menurunkan rasio cadangan wajib, bahkan dalam definisinya cadangan wajibtermasuk kas yang disimpan sendiri oleh bank masing-masing, jadi tidak adakewajiban bank menyimpan cadangan tersebut pada rekening mereka di BI,sebenarnya berarti bahwa rasio cadangan wajib tidak dianggap sebagai suatuinstrument dalam prinsip kehati-hatian perbankan. Tindakan ini juga berartikurang memperhatikan perbedaan karakteristik bank dengan perusahaan di sektorriil. Kalau ada masalah pada sektor riil, misalnya perusahaan sepatu harusditutup, masalahnya lebih mudah dibatasi pada dampak langsung penutupantersebut, seperti pegawainya yang menganggur. Tetapi kalu suatu bank harusditutp damaknya cepat melebar ke seluruh perbankan, pengawasan perbankan, dankepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Untuk sektor riil yang semula penuhdengan pengaturan, maka deregulasi jelas merupakan jawaban paling ampuh. Tetapidalam hal lembaga perantara keuangan sebenarnya perlu diingat bahwa bank itumemegang uang milik orang lain, para deposan dan penabung dan yang menitipkandananya di bank tersebut. Jadi basis utama pekerjaan bank adalah adanyakepercayaan masyarakat untuk menitipkan dana dan menggunakan dana orang lain.Ini pada dasarnya mempunyai unsur jasa publik, karena itu perlu ada pengaturandalam bentuk ketentuan prudensial dan supervisi secara ketat. Saya kirakenyataan bahwa pada waktu deregulasi Oktober, ditentukan suatu aturan yangsangat liberal, membebaskan perijinan, BI harus mengeluarkan rekomendasinyadalam waktu dua minggu terhadap permintaan ijin pendirian bank, BI tidak bolehmelakukan pengecekan terhadap calon pengurus bank,dsb, menunjukkan bahwaketentuan deregulasi Oktober 1988 ini kurang memperhatikan posisi suatu banksebagai lembaga perantara keuangan yang mengemban suatu jasa publik (publicgood/service). Yang dikejar adalah perlunya bank sepat menjadi alat mobilisasidana dan menyalurkannya pada sektor riil. Dengan belajardari masalah perbankanpada waktu krisis (hindsight) deregulasi ini seharusnya dibarengi atau malahdidahului dengan perbaikan supervisi bank dan infrastruktur perbankan(pearaturan dan kelembagaan termasuk lembaga dan kultur hukum). Dari segisekuensinya, Indonesia memang terbalik, dibebaskan dulu perijinan pendirian(Oktober 1998), baru diperbaiki ketentuan kehati-hatiannya (Februari 1991),disempurnakan tahun 1993, 1994 dan 1995.
5Bahkan ada yang menyebutkan bahwa semula ada usulan untuk menjadikannya nolpersen.
6Kebijakan yang saya laksanakan dengan meningkatkan rasio cadangan wajib padatahun 1995 menjadi 3% dan 1996 menjadi 5% dengan cara menghitung harian, bukanmingguan seperti waktu sebelumnya dengan kewajiban menyimpannya pada rekeningbank-bank di BI, yang pada waktu itu banyak dikritik, bahkan oleh akademisi,adalah untuk secara bertahap meningkatkan kembali kehati-hatian perbankan dalammeminjamkan dana yang diterima dari nasabah. Perlu pula diketahui bahwa dinegara-negara tetangga rasio ini jauh lebih tinggi dari Indonesia.
7Ini merupakan argumen saya sejak permulaan sembilan puluhan.
Kaitan Dengan KKN
Masalah korupsi tidaksederhana. Menurut pengamatan sepintas sumber KKN adalah kecenderungan carahidup yang secara umumnya saya istilahkan sebagai 'lebih besar pasak daritiang' tadi. Apakah ini yang menjadi penyebab korupsi, kolusi dan nepotisme?Saya tidak tahu persis. Akan tetapi kebiasaan hidup dengan 'lebih besar pasakdari tiang' ini nampaknya yang mendorong banyak orang mencari jalan pintas,atau jalur cepat dalam berbagai usaha seseorang mencapai apa yang diinginkandalam hidupnya, apakah itu harta kekayaan, jabatan atau ketenaran. PerbuatanKKN termasuk dalam kategori jalan pintas atau jalur cepat tadi. Mengapa orangmenempuh jalan ini, apakah karena 'terpaksa' sebagai perilaku ikut-ikutan (herdinstinct) atau karena sebab lain tidak saya persoalkan, karena itu bukan fokussaya di sini.
Secara mikro karenaadanya lembaga perantara keuangan, seperti bank, dan bagi perbankan karenaadanya sistim pasar uang antar bank serta bank sentral sebagai 'lender of thelast resort' dan secara makro dalam hubungan bilateral dan multilateral,seseorang atau suatu perusahaan atau negara memang dapat berada dalam posisi melakukanpengeluaran dana yang lebih besar dari aliran pendapatannya. Orang atauperusahaan atau negara boleh meminjam untuk membiayai pengeluarannya yang lebihbesar dari pemasukannya. Akan tetapi, hal ini tidak bisa terjadi secaraberkelanjutan, secara terus menerus. Membiayai kegiatan dengan pinjaman bolehberlangsung kalau ada kemampuan untuk mengembalikannya. Karena itu sumber danauntuk mengembalikan pinjaman ini menjadi penting. Pada dasarnya kalau kegiatanyang dibiayai dengan pinjaman ini merupakan kegiatan yang tidak mendatangkankemampuan bayar pinjaman, maka pinjaman tadi menjadi bermasalah. Kalaupinjamannya dalam mata uang asing, tentu harus didukung dengan aliranpendapatan yang berbentuk valuta, seperti kegiatan ekspor barang dan jasa yangmenghasilkan devisa.
Secara individu,pinjam uang untuk konsumsi mempunyai sifat demikian. Bagi perusahaan pinjamuang harus dilindungi dengan aliran pendapatan untuk membiayainya, sesuaidengan berbagai jangka waktunya, jenis mata uang, dan segala hal yang berkaitandengan resiko usaha, resiko harga, resiko kurs dan resiko lain. Dan sebagainegara juga sama saja. Kalau terjadi suatu kesenjangan aliran pengeluaran danpendapatan (mismatch) jangka pendek masih dapat ditutup dengan sarana yang ada,akan tetapi kalau dalam jangka panjangnya atau secara strukturnya terjadikesenjangan, maka pinjaman ini keliru dan menjadi bermasalah. Kesenjangan initidak boleh berkepanjangan . Kalau kesenjangan ini berkepanjangan, atau padadasarnya tidak bisa ditutup dengan miliknya, perusahaan ini telah bangkrut.Inilah yang merupakan hidup yang lebih besar pasak dari tiang.
Pola hidup yangmenuntut pembiayaan yang lebih besar dari kemampuan dapat mendorong seseoranguntuk mencari jalan pintas untuk menutup kesenjangan tersebut. Inilah yangdapat menumbuhkan godaan untuk melakukan korupsi, menyalah gunakan kewenanganyang dimilikinya untuk menghasilkan tambahan dana. Ini dilakukan denganmenerima uang yang bukan menjadi haknya (melanggar hukum) dan menimbulkankerugian pada negara/ masyarakat. Dengan lain perkataan dilakukan tindakankorupsi.
Saya melihat bahwasikap hidup lebih besar pasak dari tiang juga dapat mendorong tindakan kolusidan nepotisme. Seseorang yang sebenarnya tidak memenuhi syarat menduduki suatujabatan atau suatu perusahaan yang sebenarnya tidak memenuhi syarat menerimakontrak atau memenangkan tender disuatu instansi atau proyek Pemerintah,berusaha memperoleh kedudukan atau kontrak atau menang tender tersebut denganmenggunakan jalur kedekatan hubungannya karena hubungan keluarga(nepotisme)atau secara bersama dengan kelompoknya membuat rekayasa untukmemperoleh sesuatu atau hak dari instansi Pemerintah (kolusi). Semuanyabersumber pada dasar bahwa yang bersangkutan tidak memenuhi syarat untukmenduduki jabatan atau memenangkan tender, artinya ada mismatch antarakemampuan dan persyaratan dari sesuatu -jabatan atau kontrak- yang menjadikeinginannya. Dengan demikian, saya melihat masalah dasarnya adalah sikap hidupyang lebih besar pasak dari tiang.
Ada persoalan lainyang berkaitan dengan KKN yang perlu dikemukakan di sini. Yaitu bahwa tindakanKKN, atau korupsi atau kolusi atau nepotisme itu pada dasarnya berlangsungdengan adanya kerjasama antara dua pihak, pihak yang mengambil atau menerimadengan yang memberikan. Mungkin dalam hal korupsi, bisa saja terjadi tanpa adapihak yang secara aktif menjadi pemberi, misalnya dalam hal seorang yangmelakukan korupsi dengan mengambil dana negara atau masyarakat yang ada dibawahkewenangan atau pengelolaanya. Kalau yang bersangkutan mengambil uang ini untukkepentingan sendiri, maka ini merupakan tindakan korupsi. Atau sebenarnya samasaja dengan pencurian biasa, hanya modus operandinya yang berbeda.
Akan tetapi kalaudilakukan korupsi dari penyalah gunaan wewenang seseorang yang menerima uangsemir atau suap dari orang lain yang berhubungan dengan jabatannya, maka adadua pihak yang melakukan korupsi dengan menerima uang suap dan yang memberi.Mungkin kebanyakan tindakan korupsi adalah dalam bentuk ini. Yang ingin sayatekankan di sini adalah bahwa karena ada dua pihak, maka kesalahan ini juga adapada kedua belah pihak. Boleh saja dikatakan 'dosa' terbesar ada pada yangmenerima, karena dia ini yang merugikan negara/masyarakat. Akan tetapi yangmemberi juga merupakan pihak yang berkolusi atau bekerjasama, merupakan'accomplice' dalam tindak pidana ini. Selain itu, mereka ini juga ikut bersalahkarena tindakan tersebut pada dasarnya merupakan penghinaan terhadap pejabatyang jujur. Pejabat yang jujur kerapkali menderita karena generalisasi tuduhanmasyarakat yang mengira semua pejabat itu korup. Si A itu pejabat tinggi, jadimesti korup. Ini hal yang paling menyakitkan bagi pejabat yang jujur. Karenaitu, dalam kehidupan bebas korupsi nanti, pihak pemberi ini juga harus hilang,juga harus diberantas. Dia juga termasuk melakukan tindakan yang lebih besarpasak dari tiang. Selama orang semacam ini masih merasa takut kalah tender atautakut tidak kebagian kontrak, dan untuk menutup ketakutan tersebut bersediabayar uang semir, maka dia juga ikut bersalah dan harus merubah perilakutersebut. Dia harus berani bilang, kalau harus bayar diluar ketentuan, lebihbaik tidak menerima kontrak atau menang tender. Manusia Indonesia baru harusberani demikian.
Saya melihat banyak praktekkehidupan di masyarakat kita yang basisnya sikap hidup lebih besar pasak daritiang. Selain korupsi untuk menang tender atau kontrak atau memperoleh jabatanatau kedudukan, banyak kasus lain yang serupa. Misalnya orang yang inginmemperoleh pengakuan sebagai sarjana membeli ijazah, karena sebenarnya yangbersangkutan tidak memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi, jadi lebih besarpasak dari tiang. Kemudian diambil jalan pintas dengan membeli ijasah.Yangingin saya tekankan di sini, meskipun sudah jelas, adalah bahwa di dalam kasusinipun ada dua pihak, yang menerima ijazah aspal tersebut, dan yang memberinya.Yang memberi tentunya ya lembaga-lembaka akademi atau perguruan tinggi yangberdagang ijazah. Selama orang masih ingin jalan pintas memperoleh ijazahdengan membeli dan selama perguruan tinggi, manusia-manusia yang mengelola ataumemimpinnya, masih bekerjasama dengan melakukan penjualan ijazah, masalah initidak akan hilang. Jangankan ijazah sarjana, pangkatan tertinggi duniaakademipun (guru besar), konon kabarnya mengalami pencemaran di masyarakatkita, karena ada proses serupa. Masalah ini berkepanjangan karena di satu pihak'sifat ketimuran' dari masyarakat yang meskipun tahu si A atau si B melakukanhal yang menyedihkan ini, tetapi sungkan untuk mengungkapkannya. Sedang yangmembeli memang bermuka tebal dan tidak sungkan untuk hidup dengan lebih besarpasak dari tiang.
8Seperti diketahui, yang sering dilakukan pengusaha di Indonesia hanya menjualbarang atau jasa yang dihasilkannya dengan harga yang dikaitkan dengan dollar,meskipun mereka mengetahui bahwa pembelinya adalah pembeli domestik denganpendapatan yang berbasis rupiah. Di Jakarta dan kota besar lainbanyak transaksiyang menggunakan basis dollar; tidak hanya tarip hotel, tetapi sewa bangunanaatau apartement atau berbagai jasa lain. Argumentasinya, kan sistim devisaIndonesia bebas, jadi sama saja apakah transaksi itu dalam mata uang asing ataurupiah. Sebenarnya ini selain menyalahi ketentuan penggunaan rupiah sebagaimata uang pembayaran nasiaoanl, juga menunjukkan 'moral hazard' dari pihak yangbertransaksi bahwa sistim nilai tukar kita itu, menurut persepsi mereka ini,pada dasarnya tetap. Sinisme kita akan mengatakan bahwa ini lindung nilai(hedging) a la pengusaha kita.
Beberapa Cacatan
Tulisan di atas inginmenyajikan permasalahan yang nampaknya sudah diketahui kebanyakan orang, tetapitetap tidak terlalu jelas. Saya juga tidak mengajukan hal baru yang menambahkejelasan masalah. Yang saya sajikan adalah membuat kerangka berpikir mengenaimasalah besar masyarakat kita yang terus menerus diributkan, tetapi nampaksulit sekali membuat kemajuan dalam mencari solusinya. Saya takut hal inimenyebabkan bertambah besarnya frustrasi masyarakat dan tetap tidak mendorongtercapainya jalan keluar atau pemecahan masalahnya.
Saya melihat bahwadengan memasukkan ketiga tindakan kejahatan ini menjadi satu, KKN, justrumenyulitkan pendekatan kearah jalan keluarnya. Karena itu, menurut pendapatsaya perlu terlebih dahulu ditentukan batasan yang jelas mengenai kriteriamasing-masing tindakan sebagai kegiatan melanggar hukum untuk menentukansanksinya. Setelah itu bagaimana cara penangannya secara sistematik, bertahapuntuk benar-benar mendapatkan hasil hilangnya kejahatan ini dari masyarakatkita.
Dalam kaitan ini,saya melihat bahwa definisi yang jelas dan pemisahan masalah yang satu dariyang lain dapat menjanjikan hasil yang lebih baik dari apa yang sampai sekarangdilakukan. Saya melihat bahwa pada tahap permulaannya, yang menjadi pokok masalahuntuk dicari solusinya adalah korupsi, karena definisi tentang hal ini telahjelas dan operasional. Ini tidak berarti saya ingin membuang masalah kolusi dannepotisme. Tidak sama sekali. Saya justru ingin membuat jalan agar penangannyabisa benar-benar dimulai. Pada waktu meneliti atau menyidik kasus korupsi, bisasaja terungkap masalah kolusi dan nepotisme. Akan tetapi, kalau masalah kolusidan nepotisme belum dapat segera diungkap tuntas, maka akan lebih produktifuntuk memusatkan perhatian pada penaganan masalah korupsi. Dengan memusatkanpendekatannya pada korupsi dahulu, kita bisa membuat program yang lebihoperasional.
Masalah KKN demikiankompleks, karena aspeknya yang banyak. Kita harus berani menerima kenyataanbahwa masalah ini memerlukan ketekunan, waktu dan karena itu kesabaran, untukmengungkap dan mencari jalan keluarnya, termasuk menghukum yang bersalah danmembebaskan yang tidak bersalah. Sering kita terlalu bernafsu untuk menghukumyang nampaknya salah, tanpa menyadari rumitnya masalah dan lemahnyainfrastruktur hukum, baik dari aspek peraturannya maupun kelembagaan sertaprofesionalisme dan integritas penegak hukum. Selain itu sering dilupakan pulabahwa demi menegakkan keadilan pembebasan dari tuduhan atau pemeriksaan merekayang tidak salah juga tidak kalah pentingnya dalam proses ini.
Kita perlumemilah-milah, mana yang merupakan masalah politik dan perlu diselesaikandengan cara politik, mana yang merupakan masalah hukum, masalah administrasi,masalah etik,dsb, masing-masing diselesaikan sesuai proporsi masalahnya..Jangan masalah hukum dicoba diselesaikan dengan jalan politik dan sebaliknyamasalah politik ditangani dengan berlindung dibalik ketentuan hukum.
Selain masalahnyayang kompleks dengan banyak aspeknya, penanganan masalah KKN rumit karenaberbagai kelembagaan sosial dan hukum dan kelembagaan lain yang sangat lemah.Tekad politik Pemerintah untuk benar-benar menangani masalah ini belum jelas,identifikasi masalah, penyusunan strategi penanganan, penyidikan, pemeriksaan,penuntutan, pengadilan dan pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan, semuanya masihmemerlukan singgungan reformasi untuk dapat berfungsi secara profesional, adildan efektif. 'Good Governance' masih menjadi masalah di semua lini,transparansi belum terjadi, sedangkan profesionalisme dan integritas dariseluruh jajaran penanggung jawab penegakan hukum dan budaya hukum pada umumnymasih harus dibangun.
Sikap hidup lebihbesar pasak dari tiang dalam pembangunan harus memperoleh perhatian agarseluruh kegiatan pembangunan secara nasional tidak meninggalkan prinsipkemandirian. Bagi dunia usha, termasuk perbankan, pemupukan kekuatan, termasukpermodalan sendiri perlu memperoleh perhatian. Pernyataan sehari-hari bahwa'pengusaha yang menggunakan uang sendiri itu bodoh' jangan dianut secaraberlebihan. Pembiayaan kegiatan usaha dengan modal sendiri itu penting agarperusahaan tidak mengandalkan 'debt to equity ratio' yang kelewat tinggi. Bagimasing-masing individu, kebanggaan untuk meraih apa yang diinginkan denganmengandalkan usahanya sendiri, tanpa menggunakan jalan pintas, harus dipupuk.Jangan puas memperoleh jabatan atau kedudukan atau gelar akademik, kontrak ataufasilitas lain, sebagai suatu hadiah atau anugerah (karena itu melakukan'syukuran' dengan cara yang aneh pula, berpesta ria) atau dengan membeli. 'Youhave to earn it', kata orang. Sebagian dari praktek-praktek lama yang tidakbaik ini akan berkurang dengan meningkatnya transparansi dan kebebasan pers.Akan tetapi selain itu harus ada sikap baru yang masih harus dibangun bersamaoleh seluruh masyarakat Indonesia secara individual maupun bersama-sama.Marilah kita mulai!
*) Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi,Universitas Indonesia
Cambridge, MA June 1999.
Judul asli : Effectiveness Of PolicyMeasures Adopted In Pursuit Of Recovery: Indonesian Perspectives
Sumber; http://www.pacific.net.id/
0 komentar:
Posting Komentar