.

Jumat, 22 April 2011

Bersih Diri Dulu, Baru Bersihkan Orang

 Oleh : Rosadi Jamani

Untuk menyapu lantai kotor haruslah menggunakan sapu bersih. Bagaimana lantai kotor bisa bersih, kalau sapunya kotor. Apalagi si tukang sapunya juga kotor, makin kotorlah lantai tersebut.

Sebagai bupati, saya selalu dinasihati untuk menerapkan clean government (pemerintahan bersih). Nasihat itu tidak hanya dari kalangan intelektual, pemerintahan pusat, bahkan dari kalangan masyarakat bawah sendiri. Pemerintahan yang bersih dalam pemikiran sederhana saya adalah tegaknya hukum, transparan, efisien, efektif, peduli, prosedural, akuntabilitas, bervisi strategis, dan aktif berpartisipasi untuk rakyat.


Saya sadar wilayah hukum bukanlah ranah eksekutif. Seorang bupati tidak boleh mengintervensi persoalan hukum. Begitu juga sebaliknya, orang hukum tak boleh ngatur-ngatur pihak eksekutif. Sistem ini dilakukan agar terjadi keseimbangan dalam pemerintahan. Jalannya hukum juga berada sesuai relnya. Penegak hukum tidak akan pandang bulu menindak siapa saja yang bersalah.


Idealnya memang seperti itu. Kenyataan di lapangan, hukum justru begitu mudah diintervensi oleh pihak eksekutif. Sebagai contoh, ketika ada laporan warga soal korupsi melibatkan pejabat daerah, hukum kehilangan daya keadilannya. Laporan memang masuk, namun prosesnya tak jelas. Hukum begitu banyak dalih dan alasan untuk memproses seorang pejabat. Begitu hukum berhadapan dengan orang kecil, begitu laporan masuk, saat itu juga langsung diproses.


Fenomena ini membuktikan bahwa hukum begitu mudahnya untuk diintervensi. Seandainya saya jadi bupati, ketika ada laporan warga masuk mengenai adanya dugaan kasus korupsi, saya akan dorong hukum cepat memprosesnya. Jadi, intervensinya bukan memperlambat hukum, melainkan mempercepat proses hukum itu sendiri.


Saya minta kepada rakyat untuk mengawal setiap kasus melibatkan pejabat yang korup. Apabila ada penegak hukum mencoba-coba mengambil keuntungan dari proses hukum, saya orang terdepan melaporkannya ke atasan mereka.


Sebelum melantik kepala SKPD, saya minta semua pimpinan meneken fakta integritas antikorupsi. Di dalamnya ada item berbunyi, apabila menjadi tersangka kasus dugaan korupsi, saat itu juga pimpinan tersebut harus mengundurkan diri. Apabila tidak mengundurkan diri, saya akan ganti dengan pimpinan baru.


Kenapa hanya korupsi, sebab kesalahan pejabat biasanya tak lari dari soal korupsi itu. Dengan fakta integritas seperti itu, paling tidak bisa menekan praktik korupsi yang terus berkembang. Saya yakin, korupsi itu bisa hilang apabila bupati atau kepala daerahnya bersih, penegak hukumnya bersih, dan partisipasi rakyat tinggi mengontrol penegakan hukum.


Kemudian, transparan dalam menggunakan keuangan negara. Uang negara itu dari rakyat. Uang terkumpul dari jerih payah rakyat. Wajar apabila rakyat mengetahui penggunaan setiap mata anggaran. Sekecil apapun uang negara yang digunakan harus bisa dipertanggungjawabkan.


Penyakit utama dalam penggunaan anggaran adalah mark up (penggelembungan anggaran). Penyakit mark up sudah lama mendarah daging. Dari praktik mark up inilah banyak pejabat mendapatkan kekayaan secara tidak wajar. Praktik mark up sangat sulit untuk dihapus, karena dikemas dengan rapi, prosedural, dan lengkap dengan barang bukti. Padahal, kalau mau diteliti lebih dalam, hampir seluruh belanja anggaran dihinggapi penyakit mark up ini.


Mark up paling besar adalah pembebasan lahan warga, belanja alat berat, mobil pemadam kebakaran, komputer dalam jumlah besar, alat-alat teknologi canggih, serta alat tulis kantor (ATK). Satu lagi masuk kategori mark up adalah biaya perjalanan dinas. Sekitar tiga hari lalu saya sempat ngobrol dengan salah seorang anggota DPRD Kalbar. Dia mengungkapkan, dalam rapat anggaran dengan pihak eksekutif, Dewan sangat selektif terhadap anggaran tak jelas.


“Contoh, ada anggaran belanja untuk ATK salah satu SKPD. Secara logika, kalau anggaran yang diusulkan dibelanjakan secara benar, kantor SKPD itu pasti penuh dengan ATK. Inikan tak masuk akal. Kemudian, biaya perjalanan dinas. Kalau anggaran yang diusulkan benar-benar untuk keperluan itu, kepala SKPD itu tak pernah ngantor, karena keluar terus. Akhirnya, kita potong sampai 50 persen dari anggaran yang diusulkan,” ungkap teman anggota Dewan itu.


Mark up paling banyak dinikmati para pejabat adalah pembebasan lahan. Uang rakyat yang bisa dibawa pulang bisa mencapai puluhan, ratusan, bahkan miliaran. Contoh kecil, harga asli tanah dari masyarakat Rp 20 ribu per meter, lalu dikongkalikong menjadi Rp 50 ribu per meter. Kalau lahan yang dibeli 20 ribu meter persegi berarti dana yang


siapkan Rp 1 miliar. Yang dibayar ke warga Rp 400 juta. Berarti mark up Rp 600 juta. Uang Rp 600 juta ini dibagi secara berjamaah, mulai dari bupati, kepala dinas, kepala BPN, tukang ukur, kejaksaan, dan polisi. Praktik ini sudah sangat lazim, dan sangat sulit untuk diungkap, karena penegak hukumnya banyak kecipratan uang haram itu.


Seandainya saya jadi bupati, praktik seperti itu harus dihapus. Salah satu caranya, transparansi. Setiap mata anggaran yang digunakan, dipublikasikan lewat media massa agar masyarakat mengetahuinya.


Apabila ada ketidakwajaran menggunakan anggaran, itu berarti ada penyimpangan. Saya dorong masyarakat untuk melaporkan setiap ketidakwajaran penggunaan anggaran ke Kejari. Saya tidak menginginkan ada uang rakyat dinikmati secara tidak halal.


Biaya perjalanan dinas merupakan praktik mark up paling dominan. Ini dilakukan oleh pejabat tinggi daerah. Saya setuju dengan kawan Dewan tadi, kalau biaya perjalanan dinas itu benar-benar dimanfaatkan, pejabat daerah itu tak pernah ngantor. Kerjaannya selalu keluar daerah. Ada-ada alasan untuk keluar daerah. Kadang alasan itu memang dicari-cari agar bisa memanfaatkan biaya tersebut. Wajar apabila ada kepala dinas begitu sulit untuk ditemui. Setiap kali dikunjungi, selalu keluar kota. Selama keluar itu memang untuk keperluan daerah, dan satu kewajiban, misalnya undangan dari kementerian atau presiden, itu memang wajib hadir.


Celakanya, undangan itu dari lembaga-lembaga yang hanya mencari untung dari setiap even misalnya seminar atau pelatihan. Undangan keluar daerah itu memang banyak ditujukan kepada kepala SKPD. Dalam satu bulan paling sedikit ada dua undangan. Kalau mau jujur, undangan seperti kalau tak diikuti sebenarnya tak ada persoalan.


Seandainya saya jadi bupati, apabila ada kepala SKPD mau keluar daerah, harus ada izin saya dulu. Saya lihat undangan itu apakah memang wajib atau tidak. Kalau memang wajib dan ada pengaruhnya untuk daerah, saya izinkan.


Apabila tidak wajib dan pengaruhnya kecil untuk daerah, saya tak izinkan. Itu dilakukan agar anggaran yang digunakan benar-benar efektif dan efisien. Saya tidak mau ada pejabat suka keluar daerah sehingga melupakan pelayanan terhadap masyarakat. Jauh lebih penting adalah mendekatkan diri kepada masyarakat, bukan kepada pemerintah pusat.


Dari semua hal tersebut, saya harus bersih diri dulu. Keluarga saya juga harus bersih. Apabila saya tidak bersih, sungguh sangat sulit untuk menegakkan hukum. Sungguh sangat sulit menghapus praktik mark up. Untuk hidup bersih, sebenarnya syaratnya sangat mudah, gunakan anggaran sesuai prosedur dan bisa dipertanggungjawabkan, serta transparan. Praktik itu sangat mudah untuk diterapkan. Itu juga sama ketika kita berbuat baik, sangat mudah.


Tulisan saya ini hanyalah sebuah keinginan “seandainya saya jadi bupati”. Saya yakin, keinginan itu pasti banyak dicemooh orang, terutama oleh para pejabat daerah. Persoalannya, kepentingan untuk mengeruk uang rakyat pasti terganggu. Tidak tahulah dengan masyarakat awam.


Jujur diakui, dengan sistem pemilihan kepala daerah seperti saat ini, orang seperti saya ini sangat sulit untuk menjadi bupati. Soalnya harus punya uang di atas Rp 5 miliar, siap untuk curang, dan siap untuk black campaign.  Paling tidak ide menjadi bupati ini bisa diimplementasikan oleh siapa yang memiliki kemampuan untuk menjadi bupati. (tamat) 

0 komentar:

Posting Komentar

 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts