.

Senin, 21 Maret 2011

Tekan Korupsi di Birokrasi

 Oleh: Drs H Yuzan Noor Msi * Sekretaris KPU Tabalong

TUDINGAN atau asumsi pejabat/pegawai pemerintah melakukan korupsi merupakan tantangan yang berat bagi pemimpin di negeri ini.    

Betapa tidak, dengan adanya kasus-kasus tindak pidana korupsi, baik yang terangkat dan terbukti di pengadilan atau yang mentah dalam proses hukumnya, banyak melibatkan pejabat/pegawai pemerintahan (birokrasi) dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah.


Hampir setiap hari pemberitaan tentang korupsi dapat kita saksikan melalui media cetak dan elektronik, dan seakan-akan semua orang Indonesia begitu pandai berbicara masalah korupsi, karena mulai dari kalangan high class sampai rakyat jelata sangat mengerti dan gampang membahas korupsi.


Dalam konteks reformasi birokrasi, maka upaya penciptaan aparatur negara yang bersih dan bebas KKN merupakan agenda utama dalam rangka menekan tindak korupsi dan menghapus tudingan di atas.    


Niat pemerintah memberantas korupsi sudah ada, dan secara gamblang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan berada di barisan terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi.


Dalam kerangka program kerja nasional, melalui Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II telah pula dibentuk Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).


Program kerja KemenPAN-RB adalah bagian tugas dari kepala daerah yang mengemban fungsi pembinaan dan pengembangan aparatur negara, khususnya dalam bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi di daerah.


Memang tak dapat kita pungkiri ada beberapa kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi, tapi kita juga patut sedikit berbangga masih ada kepala daerah yang cukup bersemangat memberantas korupsi. Adalah Rustriningsih (mantan bupati Kebumen) yang sekarang menjabat sebagai wakil gubernur Jawa Tengah, dengan keberaniannya melarang aparat pemerintah, termasuk bupati untuk tidak menerima biaya apa pun dari pengusaha konstruksi proyek di daerahnya.


Kasus korupsi juga terjadi pada kalangan birokrasi (pejabat struktural/ fungsional) di daerah. Padahal birokrasi yang notabene pegawai negeri itu sudah diberi gaji bulanan ditambah tunjangan keluarga. Bagi yang punya jabatan ditambah lagi dengan tunjangan jabatan struktural/fungsional sesuai esselonering (jenjang jabatan) dan jenis tupoksi (tugas pokok dan fungsi)nya. Tapi mengapa masih juga terjadi korupsi?


Penyebab terjadinya korupsi di lingkungan birokrasi yang paling sering disebut adalah minimnya gaji yang diterima, sehingga cukup sulit untuk hidup yang layak.


Persoalan minimnya gaji juga disebabkan oleh sistem remunerasi yang selama ini ada, tapi belum adil dan tidak merata (hanya ada pada kementerian tertentu dan belum dilakukan di daerah).


Akibatnya, banyak pegawai negeri yang cenderung mencari tambahan penghasilan ‘ilegal’ baik secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan tugas/kegiatan dinasnya.


Karena sistem penggajian pegawai negeri diatur secara nasional, maka perbedaan total penerimaan (pendapatan resmi) antara pegawai yang mendapat jabatan dengan yang tidak punya jabatan cukup besar. Hal itu juga merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kecemburuan dan sekaligus bisa menjadi pemicu terjadinya KKN, di mana bisa terjadi kompetisi (rebutan) jabatan bukan atas dasar kapabilitas, namun atas dasar kepiawaian menyenangkan atasan.


Untuk menambah penghasilan pegawai negeri (birokrat) di lingkungan pemerintah daerah, ada kebijakan lokal kepala daerah. Yakni dengan memberikan tunjangan tambahan penghasilan (TTP), seperti tunjangan kinerja, tunjangan kesejahteraan, tunjangan daerah dan lainnya.


Apa pun sebutan dari TTP tersebut, yang pasti untuk meningkatkan kinerja pegawai, meningkatkan motivasi kerja, mengurangi kecemburuan/kesenjangan sesama pegawai, meningkatkan kesejahteraan pegawai. Dan yang paling penting adalah menghilangkan atau mengurangi tindakan korupsi di lingkungan birokrasi.    


Pemprov Gorontalo, Kabupaten Solok, Kota Pekanbaru dan Kabupaten Jembrana dapat dianggap sebagai Pelopor pemberian TTP.


Di Kalsel, baik di pemprov maupun pemkab/pemko telah mengeluarkan kebijakan pemberian TTP, besarannya bervariasi tergantung kemampuan keuangan daerah dan sesuai jenjang dan jenis jabatan.


Agar niat tulus untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai dan komitmen menghilangkan atau mengurangi korupsi dapat tercapai, pemerintah daerah melalui kebijakan kepala daerah seyogyanya melakukan beberapa hal. Pertama, kajian yang cermat atas pemberian TTP, dalam arti bahwa dengan pemberian TTP akan membantu pemenuhan kebutuhan hidup yang layak bagi pegawai.


Kedua, pegawai yang sama sekali tidak memegang jabatan struktural/fungsional, minimal diberikan TTP yang besarnya relatif sama dengan pejabat struktural terendah di lingkungan pemerintah  daerah yang berangkutan.


Ketiga, jadwal pemberian (pencairan) TTP dilakukan setiap tengah bulan, tidak bersamaan dengan pembayaran gaji.


Keempat, kurangi kegiatan yang bersifat proyek yang tidak perlu yang melibatkan pejabat dan pegawai tertentu. Karena lazim diketahui bahwa ‘proyek’ biasanya diikuti dengan honor dan dana proyek cenderung dapat dimanipulasi, sehingga menguntungkan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. ‘Proyek’ itulah yang memunculkan istilah pangkat kopral, penghasilan jenderal.


Kelima, memberikan contoh (keteladanan) penerapan budaya hidup sederhana, sehingga bawahan tidak tergoda untuk berpola hidup konsumtif.


Keenam, membangun mental kompetitif dalam kinerja. Siapa yang rajin dan berprestasi akan mendapatkan reward, yang malas akan tertinggal. Ketujuh, melaksanakan law enforcement secara konsisten dan konsekuen.

 

0 komentar:

Posting Komentar

 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts