.

Minggu, 13 Maret 2011

Catatan Sang Koruptor

suarasurabaya.net| Oleh: TRISNO KUMARI, S.Sos

Juni 2008…

Sama seperti bulan yang lalu. Hari-hari di bulan ini terasa sangat panjang dan membosankan. Setiap hari aku habiskan dengan antrean mandi dan antrean makan. Menghitung hari demi hari melalui coretan-coretan di catatan buku harianku yang sudah mulai sobek sampul depannya akibat tertindih kepalaku saat tidur.

Yah…buku catatan hariankulah yang telah menemani 303 hari melelahkanku. Hari yang panjang dan membosankan bagi semua penghuni lapas Medaeng.

Siang itu aku sengaja tidak ikut sholat Jum’at yang diadakan di Masjid yang orang bilang sebagai masjidnya para kriminil. Sedari pagi aku sudah mengalami rasa malas yang luar biasa. Aku tidak antre mandi, aku juga tidak antre makan, aku juga tidak hendak bangun dari tikar pemberian istriku pada saat pertama kali aku dijebloskan dalam rumah tahanan yang memuakkan ini.

Yah…rumah tahanan yang membuatku mual setiap kali mendengar namanya. Rumah tahanan yang membuat aku kehilangan anak dan istriku. Sejak pertama kali aku mendekam hingga saat ini, tak seorang pun anak maupun isriku menjenguk. Malu, terhina, kecewa dan sederet beban selalu aku sumpalkan kedalam hati untuk mencari sejumput alasan mengapa orang-orang yang telah menikmati jerih payahku (orang bilang kejahatan) telah pergi meninggalkan dan mencampakkanku dalam sel yang dingin.

Rasa bosan ini benar-benar telah mencekikku. Sejak semalam pikiranku bergulung-gulung, membathin, mencari akal untuk meloloskan diri dari lapas memuakkan ini. Tidak sedikitpun kegundahanku aku singgung dengan Dicky, kawanku asal Medan, kala antrean mandi. Dengan para napi disini aku lebih sering bungkam, atau setidaknya cukup melempar senyum manakala membuka obrolan disaat mandi pagi. Hanya kepada Dicky aku mau berbagi sedikit cerita asal muasal aku terdampar di rumah pesakitan ini. Terkadang jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya aku berikan hanya sepatah dua patah kata-kata.

Seperti biasanya sore ini aku habiskan kembali dengan tiduran di lantai selku yang retak-retak. Tak ada yang ingin aku lakukan. Bahkan aku tidak berpikir untuk melakukan apapun. Biarlah satu hari ini aku lalui dengan tidur.Yah…aku berharap dapat tertidur dengan lelap, tidur yang tidak dapat terbangunkan. Bagiku tidur panjang adalah jalan terbaik agar aku dapat melupakan semua kegetiran yang mengawali perjalananku terdampar di blok tahanan khusus koruptor. Tapi berkali-kali tubuhku aku bolak-balikkan, yang ada justru pikiranku melayang kembali ke bayangan masa silam.

Ya… Aku seorang koruptor. Orang bilang aku adalah penjahat yang memakan harta rakyat. Orang bilang koruptor lebih kejam dari pembunuh yang menghisap darah dan memakan tubuh korbannya. Tapi bagiku, apa yang aku lakukan hanyalah untuk menyenangkan istri dan anakku. Aku berharap dengan limpahan harta mereka dapat menerimaku sebagai ayah yang sukses. Seorang ayah yang memiliki gengsi karena berstatus sebagai anggota dewan yang terhormat.

Seminggu setelah kiriman Roll Royce dari seorang pengusaha wanita paling terkenal di kota Surabaya, aku digiring ke kursi pesakitan, dengan tuduhan menerima suap untuk pelolosan kasus pemalsuan surat izin pengangkutan tanker minyak keluar negeri. Semula aku menolak tuduhan yang disampaikan oleh jaksa penuntut, namun bukti-bukti yang diajukan dipengadilan membuatku tidak berkutik.

Juli 2008…

Coretan-coretan dalam buku harianku semakin tidak beraturan. Setiap aku tulis sesuatu, yang ada hanya kalimat aku…aku..dan aku.
Satu.., dua…, tiga.. tak terasa hampir delapan belas hari aku tidak mencatatkan sesuatu pada buku harian usangku.

Sampai suatu ketika aku merasa benci yang mengubun-ubun. Yah…aku benci dengan sel ini, aku benci dengan Sodik sipir penjara yang tidak mau aku suap untuk memberi informasi kedatangan pejabat negara, yang selama ini menjadi rekanan bisnis pengusaha wanita, orang yang telah mengirimi aku mobil mewah bedebah itu. Aku benci pada Dicky si tolol, Pencuri tengik, yang bisanya hanya mencuri burung beo dirumah seorang dokter bedah terkenal. Aku juga benci pada istriku. Istri rakus, demi gelimangan harta rela menjerumuskan suami yang menikahinya dengan sepenuh hati. Aku juga benci pada anakku yang katanya malu karena ayahnya dijebloskan kedalam penjara.
Segala limpahan materi yang aku berikan seolah musnah, bagaikan uap air di udara. Dan yang paling menyedihkan aku benci pada diriku sendiri.
“aku benci pada semua kebodohanku…!”
“aku benci pada semua orang…!”
“ aku benci…!!”
“aku muaakk!!!”
“Dasar perempuan mata duitan…!”
“Dasar anak kurang ajar…!” Segala sumpah serapah terjejal menyumpal mulutku.
Brakkk…!!!Tanpa sadar aku menghantam dinding sel tahananku yang catnya hampir terkelupas semua.

Orang bilang menunggu adalah sesuatu yang menjemukan. Tapi disini orang-orang hanya bisa meratapi nasib dan berharap keringanan sampai akhirnya tiket menghirup udara bebas diperoleh. Menunggu memang menjemukan dan aku bukan orang yang ingin menunggu.
“Aku harus menjemput kemerdekaanku!”.
“ Aku harus meraih kebebasanku!”
“ Dan aku akan menerobos dinding sialan ini!”
Segala sumpah serapah menyembur dari mulut yang dulu setiap hari aku jelali dengan rokok merek terkenal hasil suatu akuisisi perusahaan milik Phlilip Morris.

Hari ini aku berencana mengelabui petugas piket dengan berpura-pura sakit. Dalam rencanaku saat mereka lengah dalam ambulance, aku akan mencari celah meloloskan diri dengan mencuri kunci borgol dan melumpuhkan petugas yang ada dalam mobil dengan sirine meraung-raung ini. Bagiku apapun yang terjadi aku harus siap dengan segala resikonya.

Hampir saja aku dibuat terkejut saat ramai orang -orang berteriak dalam sel mereka. Ada yang berteriak dengan sumpah serapahnya, ada yang membuat gaduh dengan memukul diding sel dengan apapun yang mereka miliki. Seroang sipir nampak tergopoh-gopoh mendatangi salah satu sel yang menjadi biang keributan dipagi ini. Dengan wajah bersungut-sungut ia membuka pintu sel dan mendapati seorang laki-laki telah gantung diri. Saat tubuh laki-laki itu dikeluarkan melewati selku, aku mengenalnya. Ya…Dicky rekanku bicara dikala mandi, tewas gantung diri. Pikiranku membathin jika aku lama-lama disini, aku bisa gila, bisa-bisa aku akan mengalami nasib yang sama dengan Dicky.

Agustus 2008…

Entah kenapa sudah berkali-kali aku bertekad meloloskan diri, namun selalu ada saja hal yang mengurungkan niatku. Praktis saat ini aku hanya bisa berkomunikasi dengan catatan buku harianku. Seolah aku sanggup menumpahkan seluruh isi hatiku pada buku jelek ini, Demikian ejek Dicky, ketika aku sampaikan satu-satunya kawan curhatku adalah catatan-catatan dalam buku harianku. Catatan inilah yang membuatku tetap merasa tidak muak.

Hampir pertengahan Agustus aku masih bertahan dengan sel dinginku ini. Orang bilang bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan, tapi bagiku kemerdekaan adalah keluar dari penjara musibah ini. Penjara yang membuatku setiap hari berpikir bagaimana cara meloloskan diri. Tidak ada yang terjejali dalam pikiranku kecuali pertanyaan bagaimana cara meoloskan diri dari penjara sempit ini. Orang bilang inilah sifat para koruptor, licin, busuk dan kotor. Mental selalu ingin meloloskan diri dengan suap dan kelicikan.

Tiga hari ini aku semakin merasa resah. Orang bilang sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan. Pikiranku berkelana, membabi buta untuk segera mengakhiri penderitaan ini. Semalam aku hendak berencana menguatkan cara-cara meloloskan diri. Aku sudah mempelajari setiap detail rutinitas hotel prodeo yang membuatku hampir gila.

Sampai kemudian di pagi ini, Sodik, sipir penjara yang aku muak melihat tampangnya mendatangiku. Wajahnya yang jelek membuatku semakin jengah melihatnya.

“ Keluar! Ada tamu yang mengunjungimu!” lantang, tanpa basa-basi seperti yang biasa ia lakukan pada penghuni sel lain.
Dengan beringsut aku menuruti kata-katanya. Sembari berjalan di belakang tubuhnya yang gempal, kembali aku membathin siapa pula yang sudi mengunjungi bekas orang ‘terhormat’ini.
Sampai di ruang kunjungan para napi yang berada di ujung koridor kanan gedung, aku menemukan sosok yang aku kenali.

Ya… Nurjannah, adikku yang memutuskan menikah dengan seorang petani dari sebuah desa di Blora, Jawa tengah. Yang karena keputusannya menolak untuk kuperintahkan menikah dengan pengusaha property, yang juga pernah melunaskan hutang-hutangku dalam menyuap beberapa rekanan di ruang dewan. Adikku yang aku usir karena memalukkanku sebagai anggota dewan terhormat karena memiliki saudara ipar seorang petani miskin.

“ Assalamu’alaikum…”. Salam yang baru pertama kali aku dengar dari orang lain untukku selama di hotel prodeo, kawasan yang orang mendengar namanya saja sudah merasa sinis.
“ wa-a..a-a..la-ikum…sa-lam “ terbata-bata jawabku dengan gugup

“ Bagaimana mas kabarmu disini? Maaf aku baru mendengar kabarmu, setelah sekian lama kita tidak berjumpa” ujarnya meneruskan pembicaraan
“ Aku baik-baik saja Nur..!, hanya aku merasa sudah bosan”. Jawabku sambil menundukkan kepala karena malu. Entahlah dalam hati aku senantiasa merasa segan dengan adikku satu ini. Dan sesungguhnya yang membuatku berkecil hati adalah hampir aku tidak memiliki hubungan yang baik dengan kedua orangtuaku maupun adikku.

“ Mas, aku disini ingin menyampaikan kabar kalau ibu dan bapak telah berpulang lima bulan yang lalu, sementara aku mencari rumahmu yang dulu, aku mendapatkan kabar kalau Mas Wahid telah berpindah dan mendekam di penjara ini” ucap adikku dengan mata berkaca-kaca.

“ Istrimu telah menikah lagi dengan orang lain, sementara anakmu Toni meninggal karena narkoba, aku tahu hal ini dari mbok nah, bekas pembantu di rumah Mas Wahid”. Kembali adikku mengatakan hal yang mengiris hatiku.

“ Aku berharap, Mas Wahid dapat segera keluar, segera bertaubat, memohon ampunan pada Gusti Allah, syukur kalau ada kesempatan Mas Wahid bisa ziarah ke makam ibu, bapak dan anak Sampeyan”. Nasihat adikku dengan lembut.

Kali ini kalimat yang diucapkan adikku meledakkan segenap kesombonganku. Bertaubat…ya…bertaubat. Kata-kata yang menghancur lumatkan keinginanku untuk terus-menerus memikirkan cara meloloskan diri dari penjara ini. Bertaubat yang akan membuatku bertahan dari rasa ingin merdeka. Bagiku buat apa merdeka kalau harus merampas hak-hak orang lain, buat apa bebas kalau harus menyebabkan kemiskinan orang lain, buat apa hidup bergelimang harta kalau tidak bahagia. Tidak bahagia karena kehilangan semua orang yang dicintainya. Tidak bahagia karena menyiksa diri sendiri dengan belenggu syahwat dan nafsu menguasai dunia.

Ramadhan 2008…

Aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di hotel Prodeo ini. Tempat yang dulu aku mati-matian untuk meninggalkannya telah aku pilih sebagai tempat tinggal yang baru. Menuju menjadi manusia yang baru. Tak terasa airmataku meleleh. Sebagai laki-laki aku pantang menangis. Tapi kali ini aku menangisi dosa-dosaku yang sudah sangat mengerikan.

“Duh Gusti…Ampuni segala dosa-dosa ini dengan lautan maafMu”.
“Terimakasih ya Allah, terima kasih Nurjannah, kamu adalah cahaya surga bagiku”. Ujarku lirih dalam hati.(*Penulis adalah Ketua Aliansi Penulis Pro Syariah Jawa Timur).(ipg)

http://www.suarasurabaya.net/

0 komentar:

Posting Komentar

 
... ...

Radar Korupsi Copyright © 2009 Not Magazine 4 Column is Designed by Ipietoon Sponsored by Dezigntuts